2. Psikiatri dan psikologi forensik.
3. Forensik kerja sosial.
4. Kejahatan, pelaksanaan pemidanaan dan kebijakan statistik.
Diatur mengenai sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap membuktikan dakwaannya. Hal ini ditentukan dalam Pasal 37, 37A, 38A, 38B UU No. 31 Tahun 19999 jo UU No. 20 tahun 2001. Sistem pembuktian seperti itu merupakan suatu penyimpangan dari KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, jadi bukan terdakwa yang membuktikannya. Akan tetapi UU Korupsi menentukan terdakwa berhak melakukannya. Apabila ia dapat membuktikan bahwa tindak pidana korupsi tidak terbukti, tetap saja penuntut umum wajib membuktikan dakwaannya. Inilah yang disebut sistem pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pidana berkaitan dengan gratifikasi dan tuntutan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari hasil korupsi. Tidak kalah pentingnya, hal baru yang berupa perluasan tempat berlakunya UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 (Pasal 16), jadi memuat ketentuan yuridiksi ke luar batas teritorial (extraterritorial). Ini mempunyai relevansi dengan perkembangan tindak pidana yang bersifat transnasional dan global, khususnya terjadi pula pada tindak pidana korupsi. Dengan undang-undang tersebut berarti memperkuat daya-jangkaunya jika dihadapkan pada pelaku yang berada d luar batas teritorial.
Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan UU No. 20 tahun 2001 yang merupakan perundangundangan pidana dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi akan menghadapi problema keterbatasan kemampuannya, mengingat tipe atau kualitas sasaran (yakni korupsi) yang bukan merupakan tindak pidana sembarangan (dari sudut pelakunya, modus-operandinya) sering dikategorikan sebagai White Collar crime. Oleh karena itu, upaya dengan sarana lainnya secara bersama-sama sudah seharusnya dimanfaatkan. Sehubungan dengan ini, Barda Nawawi Arief4 menyarankan dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial, serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal.Â
Daftar Pustaka :
- Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Dengan Hukum Pidana, di muat dalam Masalah-Masalah Hukum, Semarang, Fakultas Hukum UNDIP, No. 2-4 Tahun XII, 1982
- Ravena, Dey dan Kristian. 2017. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy), Edisi Pertama. Jakarta: Kencana
- Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 1
- https://nl.wikipedia.org/wiki/Peter_Hoefnagels
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H