Dengan demikian, upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat di bagi dua yaitu lewat jalur penal atau hukum pidana dan non penal atau non hukum pidana atau di luar hukum pidana. Dalam pembagian tersebut upaya-upaya yang di sebut dalam butir 2 dan 3 dapat dimasukkan dalam kelompok upaya "non penal". Bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitik beratkan pada sifat repressive yaitu penindasan/pemberantasan/penumpasan sesudah kejahatan terjadi.
G. Peter Hoefnagels juga mengemukakan bahwa, "criminal policy is the rational organizations of the social reaction to crime." Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) dapat dijelaskan sebagai :
1. Criminal policy is the science of response (kebjakan kriminal adalah ilmu tentang reaksi dalam menghadapi kejahatan)
2. Criminal policy is the science of crime prevention (kebijakan kriminal adalah ilmu untuk menaggulangi kejahatan)
3. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime (kebijakan kriminal adalah kebijakan untuk merancang tingkah laku manusia sebagai kejahatan)
4. Criminal policy is a rational total of the responses to crime (kebijakan kriminal adalah suatu reaksi terhadap kejahatan yang
Memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, maka wajarlah apabila politik kriminal merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan perlindungan masyarakat sebagai perwujudan pembangunan manusia seutuhnya. Upaya penanggulangan kejahatan atau tindak pidana, seperti halnya penanggulangan tindak pidana (politik kriminal) dapat ditempuh atau dilakukan dengan menggunakan sarana kebijakan hukum pidana (penal) maupun dengan menggunakan sarana pendekatan preventif (non-penal).
- Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
- Marc Ancel menyatakan, bahwa "modern criminal science" terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu; "criminology", "criminal law", "penal policy". Marc Ancel juga pernah mengemukakan mengenai kebijakan hukum pidana "penal policy" sebagaimana yang dikutif oleh Barda Nawawi Arief, bahwa "penal policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Pendekatan Penal (Hukum Pidana), artinya penerapan hukum pidana atau Kriminal Law Application yakni jika anak melakukan tindak pidana maka ada prosedure penanganan sampai pada pengenaan sanksi berupa pidana dan atau tindakan. Upaya penanggulangan kejahatan lewat penal lebih menitik beratkan pada sifat represive yakni berupa penindasan, pemberantasan, penumpasan sesudah kejahatan itu terjadi
- Pendekatan non Penal (non hukum pidana)
- yakni usaha dalam bentuk pembinaan, dan atau usaha pendidikan non formal lainnya. Pendekatan non penal lebih menitikberatkan pada sifat prefentif berupa pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi, mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya tindakan kejahatan maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif tersebut antara lain berpusat pada masalah-masalah sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau kesuburan kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dalam menanggulangi sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan
Penerapan Kebijakan Kriminal di Ruang Lingkup Indonesia
Pendayagunaan UU No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai kebijakan kriminal, yang menurut Sudarto, sebagai usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kajahatan. Di dalamnya mencakup kebijakan hukum pidana yang disebut juga sebagai kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, yang dalam arti paling luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Kebijakan kriminal secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 : a. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy); b. kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (nonpenal policy). Kedua sarana (penal dan nonpenal) tersebut di atas merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat. Pendayagunaan sanksi hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan, lebih konkretnya mengoperasikan UU 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, memperhatikan beberapa langkah strategis yang dimulai dari substansi hukum, struktur hukumnya dan pemberdayaan masyarakat atau disebut budaya hukum dalam rangka mencegah tindak pidana korupsi yang kian marak di negeri ini.
Berdasarkan pendapat Hoefnagels, dapat diketahui bahwa penerapan hukum pidana untuk menangulangi kejahatan meliputi ruang lingkup berikut.
1. Administrasi peradilan pidana dalam arti sempit, yaitu pembuatan hukum pidana dan yurisprudensi, proses peradilan pidana dalam arti luas (meliputi kehakiman, ilmu kejiwaan, ilmu sosial), dan pemidanaan.