"Ya, kamu persis seperti papa. Keras kepala!" Tak ada gunanya menarik kata-kata, Rendy justru memperjelas maksud perkataannya.
"Lebih baik kamu pergi sekarang!" tegas Vayla. Ia sudah berdiri dan menudingkan telunjuknya ke pintu gerbang. "Kamu salah sudah membawa-bawa orang yang sudah meninggal dan kamu juga sudah salah menilai papaku yang begitu sabar dan sayang sama aku!"
"Aku tidak sedang membicarakan orang yang sudah meninggal. Aku membicarakan papa kandungmu dan dia masih hidup."
"Omong kosong apa lagi yang kamu katakan?" Antara kaget dan marah, Vayla menyelidik kebohongan dari wajah pemuda yang mulai beranjak dari tempat duduknya.
"Pagi ini aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja. Kelihatannya memang baik-baik saja jadi aku bisa pergi. Aku pergi," pamit Rendy.
"Pergi! Jangan pernah berani muncul di hadapanku lagi!" teriak Vayla yang tak digubris sedikit pun oleh Rendy.
***
Seminggu sejak hari pemakaman papanya, Vayla mulai terbiasa dengan kesendiriannya di rumah. Beruntung, papanya meninggalkan sedikit uang tabungan dan asuransi yang bisa menjamin hidupnya. Namun demikian, Vayla harus bisa menghemat tabungan yang ditinggalkan untuknya itu dan untuk menghalau kesepiannya, kini ia tak hanya memikirkan urusan sekolah, tetapi juga kebutuhan hidupnya ke depan. Kesehariannya, di waktu istirahatnya, ia gunakan untuk mengasah hobinya di dapur.
Sepulang sekolah siang itu, Vayla menyempatkan diri pergi ke kantin. Bukan untuk membeli makan siang meskipun perutnya begitu lapar, tapi ia meminta izin untuk menitipkan barang dagangan di kantin sekolah.
Membuat kue kering merupakan keahlian yang dimiliki Vayla, entah dari mana tangan terampilnya itu diwarisi. Setiap tepung dan bahan lain yang ada di dapurnya selalu berhasil ia ubah menjadi aneka camilan kering yang menggugah selera.
"Kalau bisa membuat lebih, kamu juga bisa jual di etalase restoran mamaku. Nanti aku bantu desain kemasannya supaya menarik," saran Dita yang kali ini membantu Vayla mengemas kue kering yang baru saja keluar dari oven.