Di artikel sebelumnya pernah menyebutkan bahwa saya sebenarnya bingung dimana kampung halaman saya. Namun akhirnya saya putuskan untuk menjadikan Balikpapan sebagai kampung halaman, dikarenakan di kota itulah saya menghabiskan masa kecil hingga remaja. Sudah dua puluh empat tahun lamanya saya pergi meninggalkan kampung halaman, semenjak melanjutkan kuliah di Surabaya sekaligus kepindahan kami sekeluarga karena Bapak meninggal dunia.
Tentunya tidak mudah melupakan kenangan selama 18 tahun tinggal di Balikpapan. Ada banyak cerita yang masih terekam dalam memori saya, tentang masa kecil dan juga masa remaja.
Masih ingat dalam kenangan ketika Ibu masih muda dan sehat, selalu mengantar jemput saya di saat duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Lalu kemudian ketika masuk Sekolah Dasar (SD) kelas 3, perlahan saya mulai dilepas untuk berangkat sekolah sendiri naik bus sekolah karena jarak dengan rumah yang tak terlalu jauh. Lagipula banyak teman yang membersamai ketika naik bus dan para sopirnya merupakan pegawai dari kantor dimana Bapak bekerja.Â
Masih ingat dalam kenangan ketika pertama kali saya masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan ketika menjalani OSPEK harus membawa segala printilan barang yang disuruh oleh kakak kelas pengurus OSIS. Untungnya saya punya beberapa teman dekat sehingga kami bisa bersama-sama mempersiapkan barang-barang yang diminta.
Bagaimana serunya menjalani ibadah puasa di Bulan Ramadan karena almarhum Bapak dan Ibu kerap mengajak saya ke Pasar Ramadan yang ada di daerah Muara Rapak. Aneka hidangan takjil dan makanan tersedia di Pasar Ramadan dan sebagai anak kecil, saya kerap merengek kepada Ibu agar dibelikan kue yang saya suka.
Pertama kalinya saya menggunakan jilbab ketika di kelas 2 SMA dan lagi-lagi terjadi di kampung halaman yaitu Balikpapan. Kala itu siswi perempuan yang menggunakan jilbab masih bisa dihitung dengan jari. Entah kenapa tiba-tiba keinginan untuk menggunakan jilbab begitu menggelora dan bersyukur kedua orang tua mendukung.
Masih ingat dalam memori dimana nilai Matematika saya saat di SD tidak terlalu bagus, akhirnya Ibu menyuruh saya untuk mengambil les privat di luar jam sekolah dengan salah satu kenalan beliau yaitu guru di SD Negeri sekolah lain. Kebetulan saya sekolah di sekolah swasta milik perusahaan tempat Bapak bekerja. Saya pun mengajak teman untuk les Matematika dan bersyukur lambat laun nilai Matematika mulai beranjak naik ke angka 7 dan 8. Padahal saya selalu malas berangkat ke tempat les karena setiap pukul 14.00 WITA matahari sangat menyengat di atas kepala.
Dari SMP sampai SMA saya menyukai pelajaran Bahasa Inggris dan selalu meraih nilai tertinggi ketika kenaikan kelas. Bisa dibilang saya selalu menantikan pelajaran Bahasa Inggris di kelas tidak peduli jika guru Bahasa Inggrisnya cukup galak ketika itu.
Ketika hari raya Idul Fitri tiba, saat duduk di bangku SMA, saya dan teman-teman selalu bareng-bareng pergi ke rumah beberapa guru untuk bersilaturahmi. Kami rela untuk carter angkutan umum (kalau di Balikpapan angkutan umum namanya Taxi, mewah banget ya!) agar dapat sampai ke rumah para guru. Maklum saja. rumah para guru banyak terpencar di beberapa area berbeda.
Di kampung halaman Balikpapan, selalu ada saja kisah menarik jika saya ingin mengingatnya kembali. Ketika SMA dan bersiap untuk menghadapi EBTANAS, saya ingat sekali banyak lembaga pendidikan menawarkan paket kursus untuk para siswa kelas 3. Salah satunya Primagama. Saya pun sedikit merengek kepada almarhum Bapak karena ingin sekali kursus di Primagama. Maklum saja, menurut saya teknik marketing yang dilakukan Primagama di akhir tahun 90-an kala itu bisa membuat para siswa sangat ingin bergabung. Akhirnya dengan biaya kursus yang tidak murah, keinginan saya pun dikabulkan oleh almarhum Bapak untuk bisa kursus di Primagama sebagai persiapan menjelang EBTANAS.