Sehari sebelum Idul Adha, ba'da maghrib saya berada di rumah pacar, mencicipi ketupat sayur mbikinan Ibunda pacar. Ada Kakak pacar saya (Kak Dwi), Sang Ibu (tentunya) dan Ayahanda. Pacar saya belum pulang dari kantor. Kami asyik mengobrol bersama, sampai akhirnya Kak Dwi berdebat kecil dengan Ibunda.
Ceritanya, mereka akan berkurban kambing pada hari ini (17/11), lalu Ibunda pacar mbilang,
"Tetangga kita si fulan udah nitip kepala nanti pas pemotongan," Ibunda berujar sembari mengunyah ketan uli.
"Lha, enggak boleh itu Ibu. Masa udah matok- matok daging ?" tukas Kak Dwi, buru- buru. Wajahnya langsung berubah serius.
"Masa iyya enggak boleh ? Kan kita yang kurban, boleh milih lah ..." kata Ibunda, ngotot.
"Enggak boleh, pokoknya. Kemarin Pak Ustadz udah ngejelasin sama Dwi, Bu"
Lalu, Ibu terdiam. Wajahnya beralih pada layar televisi yang sedang menyiarkan tayangan berita terkini.
Dan, tadi subuh, hal yang sama juga terjadi di rumah saya. Saat saya sedang membantu menyiapkan sarapan ketupat sayur, Ibu saya melakukan hal yang sama.
"Nanti bilangin ke yang motong, kita milihnya paha sama kaki. Kalau bisa ati juga .."
Saya menyahut, "Kasih tau Reza aja, dia kan panitia kurban .."
"Enggak usah, adik kamu itu pemalu" sergah Ibuku.
Saya terdiam. Antara kepingin memberitahu soal yang terjadi semalam di rumah pacarku, tapi ragu juga apakah yang Kak Dwi bicarakan itu benar atau salah. Batin saya ndak tenang, saya sendiri ndak tahu mengenai hal "pilah-pilih daging kurban".
Tiba-tiba muncul adik laki- laki saya itu, Reza. Ibu saya juga menitip pesan pada adikku itu, kebetulan Reza menjadi panitia kurban di masjid komplek dan masjid kampus the yellow jacket. Dia juga ikut menjualkan sapi- sapi milik tetangga saya dan alhamdulillah, laku 10 ekor.
Reaksi Reza lebih parah dari Kak Dwi, "Enggak boleh tuh Mah !" potong adikku saat Ibuku menjelaskan bagian- bagian mana yang harus dibawa pulang. Tuh bener kan parah ? Beneran to the point
"Tau darimana kamu ? Sok tahu" kata Ibuku.
"Kita enggak boleh milih daging hasil kurban, biarin aja sengasihnya mereka." jelas adikku itu, to the point dan tegas. "Dikasih bagus, enggak ya enggak apa- apa. Kita masih mampu beli, Ma ..."
Sayangnya, Ibuku berpikir adikku itu pemalu dan gengsian. Ibu saya masih ngotot. Dan, pada akhirnya adikku memilih mengalah dan berangkat sholat Idul Adha duluan.
Sepulang dari sholat Idul Adha, saya, orangtua saya dan adik- adik saya kecuali Reza sudah tiba di rumah duluan. Kami segera menyerbu meja makan yang terdiri dari ketupat sayur, semur daging, dan teri kacang. Ya, kami memakan masakan kiriman Ibunda pacarku dulu, baru ronde kedua menyantap masakan shabu- shabu mbikinan Ibuku.
Ketika saya sedang menyendoki ketupat sayur, Ibu saya kembali mengingatkan agar saya tidak terlupa soal daging paha dan kaki kurban. Tak tahan dengan batin saya yang masih mendera- dera, saya memberanikan diri untuk memberitahu Ibu soal apa yang terjadi di rumah pacarku sehari sebelumnya. Intinya, membenarkan perkataan adikku, Reza. Ibu saya melunak.
Sembari mengunyah ketupat sayur, saya langsung kepikiran, berapa banyak orang yang tidak tahu soal para pengurban yang tidak boleh memilih daging potongan ini ? Apa pun itu, paha, kaki atau kepala ...
Selamat Idul Adha,
-Ayya Gondz-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H