Saya terdiam. Antara kepingin memberitahu soal yang terjadi semalam di rumah pacarku, tapi ragu juga apakah yang Kak Dwi bicarakan itu benar atau salah. Batin saya ndak tenang, saya sendiri ndak tahu mengenai hal "pilah-pilih daging kurban".
Tiba-tiba muncul adik laki- laki saya itu, Reza. Ibu saya juga menitip pesan pada adikku itu, kebetulan Reza menjadi panitia kurban di masjid komplek dan masjid kampus the yellow jacket. Dia juga ikut menjualkan sapi- sapi milik tetangga saya dan alhamdulillah, laku 10 ekor.
Reaksi Reza lebih parah dari Kak Dwi, "Enggak boleh tuh Mah !" potong adikku saat Ibuku menjelaskan bagian- bagian mana yang harus dibawa pulang. Tuh bener kan parah ? Beneran to the point
"Tau darimana kamu ? Sok tahu" kata Ibuku.
"Kita enggak boleh milih daging hasil kurban, biarin aja sengasihnya mereka." jelas adikku itu, to the point dan tegas. "Dikasih bagus, enggak ya enggak apa- apa. Kita masih mampu beli, Ma ..."
Sayangnya, Ibuku berpikir adikku itu pemalu dan gengsian. Ibu saya masih ngotot. Dan, pada akhirnya adikku memilih mengalah dan berangkat sholat Idul Adha duluan.
Sepulang dari sholat Idul Adha, saya, orangtua saya dan adik- adik saya kecuali Reza sudah tiba di rumah duluan. Kami segera menyerbu meja makan yang terdiri dari ketupat sayur, semur daging, dan teri kacang. Ya, kami memakan masakan kiriman Ibunda pacarku dulu, baru ronde kedua menyantap masakan shabu- shabu mbikinan Ibuku.
Ketika saya sedang menyendoki ketupat sayur, Ibu saya kembali mengingatkan agar saya tidak terlupa soal daging paha dan kaki kurban. Tak tahan dengan batin saya yang masih mendera- dera, saya memberanikan diri untuk memberitahu Ibu soal apa yang terjadi di rumah pacarku sehari sebelumnya. Intinya, membenarkan perkataan adikku, Reza. Ibu saya melunak.
Sembari mengunyah ketupat sayur, saya langsung kepikiran, berapa banyak orang yang tidak tahu soal para pengurban yang tidak boleh memilih daging potongan ini ? Apa pun itu, paha, kaki atau kepala ...
Selamat Idul Adha,
-Ayya Gondz-