[caption id="attachment_360114" align="aligncenter" width="270" caption="LGP12Kg (Pic: Pertamina)"][/caption]
"....Hanya kau yang kumiliki di dunia ini , selain kau tiada yang lain yang kucintai..."
Begitulah beberapa tahun yang silam ketika kita masih bergantung pada minyak tanahdan alergi dengan yang namanya "GAS"
Kenaikan harga BBM dan harga barang ekonomi lainnya di Indonesia ibarat episode percintaan sepasang muda-mudi yang rasanya tiada akhir dan selalu berjalan di babak episode baru. Ngambek, bikin capek , bikin marah, bikin tersenyum dan cinta membuat rasanya hidup tiada arti tanpanya. Matapun mulai tertutup selubung yang menghalangi pandangan akan adanya "dia" di sekitar kita. (dia=kehidupan lain)
Kebanyakan masyarakat Indonesia selalu berkutat dengan masalah kenaikan harga , memandang dan berfokus melihat angka yang terus meningkat dalam rupiah bagai cinta pandangan pertama membuat hidup bagai klimaks sinetron yang tertunda kala iklan numpang lewat. Â Ahh, tapi itu bukanlah hal yang aneh, emangnya masyarakat tau di luar sana ada pilihan lain?
Mari kita melihat masa lalu, karena rasanya kehidupan ini akan lebih romantis jika mengingat bagaimana kisah cinta kita di masa lampau.
Kala itu (arrggh..) kita dan sebagian masyarakat Indonesia memiliki habit atau perilaku alami yaitu " aku tak dapat hidup tanpa minyak tanah" yang artinya masyarakat amat bergantung pada bahan bakar minyak.
Namun, Pertamina mendarat di bumi membawa sebuah Mission Impossible yang memiliki visi untuk melepaskan genggaman erat tangan masyarakat akan ketergantungan penggunaan minyak tanah.
Dari tahun 2007 hingga 2011, pertamina berhasil melepaskan pegangan masyarakat akan minyak tanah dan beralih menjadi "Manusia Maniak Gas".
Artinya selama 5 tahun itu jugalah Pertamina berupaya keras melakukan berbagai cara baik dalam sosialisasi, edukasi dan distribusi LPG kepada masyarakat di negara yang memilik penduduk terpadat di dunia ini.
Lima tahun melakukan perubahan besar adalah tergolong cukup cepat ditambah lagi ternyata Program konversi minyak tanah ke LPG telah berhasil mendistribusikan 53,3 juta paket perdana kepada rumah tangga dan usaha mikro di 316 kabupaten / kota dari 23 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun itu adalah sebuah langkah awal yang artinya pekerjaan besar menanti.
Paska konversi, pertamina terus memperbaiki kualitas distribusi LPG termasuk dalam pembuatan tabung gas yang baik. Pendistribusian LPG 3Kg bersubsidi kepada masyarakat kecil disambut antusias oleh kalangan ekonomi bawah. Tak hanya itu, Pertamina juga ternyata telah membantu Pemerintah dengan adanya penghematan pada anggaran, dibanding dengan menyalurkan minyak tanah bersubsidi.
Bayangkan saja sampai akhir September 2011 , gross penghematan dari pengalihan subsidi minyak tanah ke LPG mencapai sektiar Rp 57.3 triliun dengan biaya konversi Rp12.8triliun, maka net yang diperoleh adalah sekitar Rp 44.5 Triliun. FANTASTIS...!
Penjualan LPG 3Kg cukup memberikan laba, tapi sayangnya menjadi negatif akibat kerugian yang diperoleh dari penjualan LPG 12Kg dan 50 Kg. Kerugian ini harus ditanggung sendiri oleh pertamina dan tak mungkin memperoleh subsidi untuk LPG 12 Kg dan LPG 50 Kg dari pemerintah sekalipun konversi dari minyak tanah ke gas sudah terbukti menyebabkan penghematan di sisi pengeluaran pemerintah. Mhh.....
Jadi ini merupakan perjuangan berat yang harus dihadapi pertamina. Walau telah berhasil melepaskan ketergantungan rakyat pada minyak tanah dan beralih ke LPG, bak bertarung sendirian, pertamina harus berjuang untuk tetap berjalan tanpa menjadi seorang pesakitan
Kenaikan harga LPG 12 Kg dan 50 Kg pun dilakukan secara perlahan dan bertahap sehingga tidak begitu mengagetkan masyarakat luas. Tapi, sebenarnya masyarakat pengguna LPG 12Kg ini bisa dikatakan adalah masyarakat dengan kalangan ekonomi menengah ke atas. Kenaikan LPG 12Kg harus terus dilakukan bertahap walau tampaknya ini menyebabkan kesenjangan harga antara LPG bersubsidi dan Non Subsidi.
Saya, adalah salah satu pengguna LPG12 Kg yang telah merasakan efek kenaikan harga LPG ini. Tepatnya secara langsung bukan saya sih, tapi Ibu kos. Masih ingat tidak teman-teman? beberapa bulan yang lalu sempat terjadi kenaikan LPG dan lalu ditunda lagi kenaikannya sehingga diturunkan langsung. Luar biasa senangnya ketika sudah diturunkan berharap uang kos yang sudah terlanjur naik turun lagi. Ehh, ternyata tidak turun-turun, iya sih, belum pernah sejarahnya uang kos turun. Ya sudahlah, mari kita nikmati saja.
Sebenarnya kalau kita melihat kenaikan ini dilakukan secara bertahap, saya pikir seharusnya tidak ada masalah JIKA KITA TAU MENGATASINYA. Namun kenaikan ini akan terus bermasalah dan menjadi isu tiada akhir jika kita tidak tau solusi apa yang harus kita lakukan.
Tidak hanya LPG saja yang naik, biaya listrik, bahan makanan, BBM, dan lain-lain sudah berkali-kali mengalami kenaikan dan tentunya hal tersebut seiring dengan pertumbuhan dan kenaikan ekonomi masyarakat Indonesia. Menurut pertamina, profil pengguna Elpiji 12 Kg hanya sebesar 17% dari konsumsi LPG Total dimana hanya terdapat sebesar 16% rumah tangga perkotaan serta 6% warga pedesaaan yang menggunakannya.
Rata-rata kepala rumah tangga pengguna elpiji 12 Kg memiliki Pendidikan yang lebih baik sekitar 30% adalah lulusan akademi atau diatasnya. Dan rata-rata memiliki gaya hidup yang diukur dari jumlah pengeluaran yang lebih besar 3 kali lipat dari pengguna LPG lainnya.
Namun sejak Oktober 2011 - Oktober 2012, temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menyatakan bahwa pertamina telah menanggung kerugian atas bisnis LPG 12Kg dan 50Kg hingga 7.73 Trilliun. Oleh karena itu Pertamina telah mengajukan Roadmap untuk penyesuaian harga LPG, yaitu:
1. Tahun 2014
- Kenaikan Rp 1000/Kg pada Januari dan Juli menjadi Rp 6944/Kg per Juli 2014
- Estimasi harga di konsumen Rp 8640/Kg (Rp 103.700/tabung()
2. Tahun 2015
- Kenaikan Rp 1500/Kg pada Januari dan Juli menjadi Rp 9944/Kg di Juli 2015
- Estimasi harga di konsumen Rp 12250/Kg (Rp 147,000/tabung)
3 Tahun 2016
- Kenaikan Rp 1500/Kg pada Januari dam Rp500/Kg pada Juli menjadi Rp 11944/Kg di Juli 2016
- Estimasi harga di Konsumen Rp 14660/Kg (Rp 175900/tabung)
Jika dilihat perbandingan harga LPG Regional , Harga LPG non subsidi di Indonesia termasuk harga yang paling rendah di bandingkan dengan negara lain di Asia.
Sebagai bagian masyarakat pengguna LPG 12 Kg yang akan terdampaki kenaikan harga LPG, sebenarnya ada hal-hal kecil yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari masyarakat:
1. Meningkatkan penghasilan tanpa harus meratap
Jika kita lebih kreatif menggunakan talenta yang ada, kita bisa menggunakannya untuk sesuatu yang menghasilkan. Misalnya membuka usaha kecil atau bisnis-bisnis sampingan yang menghasilkan income. Dengan peningkatan penghasilan tentu kenaikan harga akan bisa diimbangi
2. Bijak mengalokasikan dana
Terkadang kita bisa mengeluh dengan kenaikan harga LPG ataupun kenaikan harga barang ekonomi lainnya, tetapi kita tidak mengeluh mengeluarkan dana kita untuk sesuatu yang tidak berdampak ekonomis dan tidak terlalu bernilai buat kita. Misalnya: Belanja Kuota Internet hanya untuk fun tak berarti atau bermain game yang menuntut kita mengeluarkan sejumlah uang. Atau belanja untuk hal-hal yang tidak bersifat kebutuhan tetapi keinginan.
Lihat saja tukang becak atau tukang ojek yang mana mereka tak jarang sudah memiliki telepon genggam masing-masing, bahkan beberapa diantaranya sudah memiliki handphone yang tergolong canggih. Sepertinya kita bukanlah negara yang sekarat ekonominya.
Namun, jika dia menggunakan handphone tersebut untuk kebutuhan pekerjaannya why not? bukankah itu kreatif namanya? misalnya mempermudahkan komunikasi dengan pelanggannya untuk layanan antar jemput. Tentu itu akan membuat dia untuk kelak menjadi lebih baik dalam mengembangkan usaha.
3. Sadar diri
LPG 12 Kg kebanyakan digunakan oleh mereka yang ekonomi menengah ke atas dan cenderung berpendidikan lebih tinggi. Sebaiknya jangan membeli LPG 3KG yang dikhususkan untuk membantu mereka yang membutuhkan subsidi
Jika saya memberikan pendapat kepada pertamina, mungkin bisa buat paket menarik dalam marketing dan pendistribusian LPG 12Kg atau LPG 50KG. Misalnya;
1. Bermain cantik dengan harga (Paket dan promo)
Misalnya saja : Beli 1 LPG 12 Kg harga Rp 150,000, Beli 2 LPG 12 Kg harga Rp 215000 dan paket sejenis lainnya
2. Memberikan alternatif pilihan jumlah berat LPG
Misalnya : 12Kg, 20Kg, 30Kg dan 50Kg lalu bermain di promosi paket harga.
Dari paket-paket yang tersedia, masyarakat bisa memilih LPG sesuai kebutuhan mereka.
3. Pengawasan pendistribusian elpiji bersubsidi
Sebaiknya dilakukan pengawasan ketat sehingga elpiji non subsidi tidak salah sasaran dalam pengalokasiannya. Karena bisa saja masyarakat kalangan menengah ke atas justru beramai-ramai membeli elpiji bersubsidi 3Kg yang harusnya ditujukan untuk masyarakat kecil.
4. Jual elpiji non subsidi 12Kg bagai sistim MLM
Rasanya mungkin lucu, jual gas seperti metode MLM, tapi kenapa tidak? mungkin saja dengan cara seperti ini justru akan memberikan sensasi baru dalam kelancaran marketing dan distribusi Elpiji 12Kg bahkan 15Kg
5. Mainkan Point Reward untuk pelanggan langsung
Berhubung target marketing adalah kalangan menengah ke atas, mengapa tidak bermain saja dengan point reward untuk setiap pembelian Gas Elpiji mulai 12Kg. Women (wanita/ibu rumah tangga) tentu tersangka pelaku dalam pembelian Gas ini, pasti suka dengan yang namanya iming-iming hadiah atau point reward. Contohnya saja, Frequently Flyer maskapai tertentu bermain denagan point reward untuk menarik pelanggan dan membuatnya tetap menjadi pelanggan. Sistem Point reward berlaku untuk konsumen bukan pengecer.
6. Latih Dealer untuk marketing dan Service After Sales (pelayanan setelah penjualan)
Layaknya bisnis service mobil di dealer resmi, mengapa tidak jika para agen atau pertamina melakukan pelayanan setelah melakukan penjualan. Misalnya, memperkirakan jangka waktu penggunaan Gas, dengan begitu bisa mengingatkan masyarakat pengguna untuk membeli sebelum tanggal penggunaan gas elpiji habis.
Terkadang harga memang terasa mahal, tetapi pelayanan dan kepuasan pelanggan bisa mengimbangi.
Intinya, bermain cantik dengan berbagai variasi strategi marketing dan pendistribusian elpiji akan mendatangkan hasil yang berbeda dan luar biasa disertai dengan Pengawasan yang nyata.
Tidak berorientasi pada harapan agar masyarakat menerima kenaikan harga saja, itu akan terasa menguntungkan sepihak dan menimbulkan efek curiga tak beralasan. Tetapi bagaimana agar dengan kenaikan harga sekalipun masyarakat masih saja mendapatkan opportunity dalamkebijakan tersebut.
Harga gas yang jauh lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar minyak (BBM) subsidi juga sudah saatnya dimanfaatkan sebaik mungkin oleh masyarakat dan menjadi langkah mengkonversi BBM ke Gas.
[caption id="attachment_360115" align="aligncenter" width="300" caption="Penjual jajanan di Pantai Papuma dengan Elpiji 3Kg (pic:riacitinjaks)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H