Entah angin apa, sabuk pengaman ayahku longgar. Kemudian dia berusaha menggapai-gapai sambil menyetir, memasangkan sabuk pengamannya.
Tak lama ibuku memiringkan tubuhnya, memasangkan.
Mereka tidak berkata-kata, juga tidak berisyarat. Tapi dari udara diantara mereka bisa kulihat sepenggal-penggal kalimat manis . Seperti 'terimakasih', 'aku mencintaimu' , 'aku bersyukur'.
Sepanjang jalan mereka berargumen, tapi tidak emosi.
Ayahku berkhotbah, dan ibuku berperan sebagai istri yang baik, mendengarkan.
Ibuku memberikan lagi sepogul nasi besar seukuran buah rambutan yang belum dikupas .
"Lagi?" ujarku. Kusesali nada suaraku yang sedikit tinggi. Tapi tetap kuambil dan kukunyah pelan-pelan.
"Tidak setiap hari kau bisa makan itu, kak." Suara ayah yang bijaksana, yang hingga kini masuk ke dalam hatiku.
"Nasi yang dipogul adalah tanda kasih, tanda sayang. Saat dipogul ibumu telah menyisipkan doa-doa dan harapan. Tahun depan pun belum tentu kau pulang," dia melanjutkan lagi dengan logat Batak yang khas.
Aku terus mengunyah sambil tersenyum, dalam diam.
Tapi aku mengerti, bahwa ayahku mengerti.
Ada sepatah-patah kalimat yang memaniskan udara disekitar kami.