Mohon tunggu...
Maria ShintiaTobing
Maria ShintiaTobing Mohon Tunggu... Dokter - Calon dokter hewan

Seorang mahasiswa Koas Kedokteran Hewan di salah satu universitas negeri di Bogor. Menyukai menulis dan ingin memberikan dampak pada orang lain melalui tulisannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Doa Orangtua dalam Segenggam Nasi

30 Desember 2019   13:02 Diperbarui: 30 Desember 2019   21:33 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tengah menghabiskan setengah sisa novel yang telah kukejar sejak kemarin. Novel yang menarik, aku kerajingan membacanya.

Di dalam mobil, ragaku dibawa menjauh dari kota kelahiran. Tapi jiwaku masih tinggal diam disana.

Percakapan si pengemudi dan istrinya di kursi depan membuatku lamat-lamat melepaskan pandangan dari lembaran kertas buram itu.
Menatap rerimbunan yang berlalu dengan cepat .

Tiba-tiba sang istri - ibuku - menyodorkan sebuah kotak makan berwarna kuning.

"Ini ambil nasi"

"Nasi saja ?"

Ayah tertawa, katanya : *Dipogul,supaya tidak masuk angin.

Aku memogul sedikit nasi ,kumasukkan ke mulutku. Begitupun mereka . Ternyata tidak bisa langsung ditelan.

"Ternyata manis", ibuku masih mengunyah.

'Kenapa bisa seperti itu ya '

Aku tak tergerak menjelaskan enzim pada mereka. Mereka tidak perlu tahu.

Entah angin apa, sabuk pengaman ayahku longgar. Kemudian dia berusaha menggapai-gapai sambil menyetir, memasangkan sabuk pengamannya.
Tak lama ibuku memiringkan tubuhnya, memasangkan.

Mereka tidak berkata-kata, juga tidak berisyarat. Tapi dari udara diantara mereka bisa kulihat sepenggal-penggal kalimat manis . Seperti 'terimakasih', 'aku mencintaimu' , 'aku bersyukur'.

Sepanjang jalan mereka berargumen, tapi tidak emosi.

Ayahku berkhotbah, dan ibuku berperan sebagai istri yang baik, mendengarkan.

Ibuku memberikan lagi sepogul nasi besar seukuran buah rambutan yang belum dikupas .

"Lagi?" ujarku. Kusesali nada suaraku yang sedikit tinggi. Tapi tetap kuambil dan kukunyah pelan-pelan.

"Tidak setiap hari kau bisa makan itu, kak." Suara ayah yang bijaksana, yang hingga kini masuk ke dalam hatiku.

"Nasi yang dipogul adalah tanda kasih, tanda sayang. Saat dipogul ibumu telah menyisipkan doa-doa dan harapan. Tahun depan pun belum tentu kau pulang," dia melanjutkan lagi dengan logat Batak yang khas.

Aku terus mengunyah sambil tersenyum, dalam diam.

Tapi aku mengerti, bahwa ayahku mengerti.

Ada sepatah-patah kalimat yang memaniskan udara disekitar kami.

'Terimakasih yah' , 'aku pun mengasihi kalian', 'aku bersyukur'.

 'Aku pasti rindu'

Dipogul: Nasi yang diremas hingga berbentuk bulat

Ditulis dalam perjalanan menuju bandara Internasional Kuala Namu, Medan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun