Indonesia dengan berbagai keanekaragamannya memiliki bermacam-macam suku, bangsa, adat, budaya, dan salah satunya memiliki pluralitas agama.
Dengan berbagai kemajemukan suku, bangsa, adat, budaya, dan juga agama ini merupakan suatu kebanggaan dan menjadi sebuah ciri khas bagi masyarakat di Indonesia. Menjadi negara yang multikultural dalam hal umat beragama merupakan salah satu ciri khas bagi bangsa Indonesia.
Menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Kedudukan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil), jumlah penduduk Indonesia pada Juni 2021 adalah 272,23 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 236,53 juta orang (86,88%) beragama Islam.
Itu artinya mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Akan tetapi, Indonesia memberikan kebebasan pada warga negaranya, untuk berhak memilih agama yang hendak dianut, karena Indonesia sendiri merupakan negara yang pluralis.
Tanpa kita sadari kemajemukan bangsa Indonesia dalam hal agama ini, menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta dapat menghadirkan perpecahan. Hal ini terbukti, masih banyaknya konflik antarumat beragama yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Munculnya stereotype satu kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda agama seringkali memicu konflik antarumat beragama. Perspektif agama yang menggambarkan agama sebagai sumber konflik, telah memunculkan berbagai upaya untuk menginterpretasikan kembali ajaran agama, dan kemudian dicarikan titik temu pada tingkat tertentu, dengan harapan konflik antarumat beragama akan berkurang apabila antar pemeluk agama menumbuhkan sikap toleransi.
Kasus Penolakan Pembangunan Rumah Ibadah
Di Indonesia sering kali kita jumpai konflik-konflik mengenai perbedaan agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Yang mana salah satu konflik tersebut adalah penolakan pembangunan rumah ibadah oleh penganut agama mayoritas terhadap penganut agama minoritas. Seperti yang terjadi di Kelurahan Bangunsari, Kecamatan Ponorogo, yang menolak adanya rencana pembangunan Gereja Bethany.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi kasus penolakan rencana pembangunan Gereja Bethany di Ponorogo ini. Warga setempat melakukan penolakan karena tidak adanya izin kepada warga lingkungan sekitar yang mayoritas beragama muslim.
Selain hal tersebut, rumah yang hendak dibangun menjadi Gereja ini merupakan milik toko sampurna yang disewa oleh pendeta sekitar 10 tahunan, dan tidak ada jemaah dari warga sekitar, otomatis dari luar semua.
Hence Hapsaki, selaku ketua RT 02 daerah tersebut mempersilakan pendeta untuk menempati rumah tersebut, asalkan tidak menjadikannya sebagai Gereja. Ia juga berharap pembangunan tersebut dibatalkan agar situasi dan kondisi di lingkungan masyarakat lebih kondusif. Hal ini tentu menimbulkan beragam komentar, dan pertentangan yang tentu berujung pada sebuah konflik.
Di sisi lain, Mantan politisi Partai Demokrat Ferdinand Hutahaen menyayangkan aksi penolakan tersebut. Ia mempertanyakan sejumlah lembaga negara dan Gereja yang tidak segera turun tangan menanggapi kasus tersebut, yaitu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM ), dan Persekutan Gereja-gereja di Indonedia (PGI), yang tidak segera mengeluarkan pernyataan resmi atas penolakan pembangunan Gereja Bethany tersebut.
Sementara itu, Kapolsek Kota Ponorogo AKP Kusbiantoro mengatakan langkah dari pihak Kepolisian yang pertama adalah mengamankan agar tidak terjadi tindakan yang anarkis, serta kerukunan tetap terjaga, dan situasi tetap kondusif. Serta langkah berikutnya yang akan dilakukan adalah kasus tersebut akan dimediasikan bersama oleh semua pihak yang terkait.
Masih banyak pula kasus-kasus lain tentang penolakan pembangunan rumah ibadah yang terjadi di Indonesia ini. Dapat kita ketahui bersama bahwa kasus penolakan pembangunan rumah ibadah, seperti yang terjadi pada kasus penolakan pembangunan Gereja Bethany tersebut bertentangan dengan Pancasila sebagai landasan dasar negara ini, yaitu sila pertama dan sila ke lima yang berbunyi, Ketuhanan yang Maha Esa dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Serta telah bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Konflik penolakan pembangunan rumah ibadah dapat terjadi bukan tanpa alasan dan sebab yang tidak jelas. Akan tetapi, pasti banyak hal yang mendasari adanya konflik tersebut.
Untuk itu, perlu adanya jalan keluar yang terbaik untuk menengahi konflik tersebut, hingga pada akhirnya dapat menemukan titik terang untuk mengakhiri konflik. Serta diperlukan kesadaran lebih oleh masyarakat akan pentingnya meningkatkan rasa toleransi terhadap pemeluk agama lain, untuk menghadirkan kerukunan antarumat beragama, dan menghindari perpecahan dan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Hak Bagi Kaum Minoritas
Dalam sebuah negara pasti terdiri dari kaum mayoritas dan juga kaum minoritas. Kaum mayoritas merupakan sejumlah orang yang memiliki ciri-ciri yang sama seperti agama, suku, bangsa, sosial, dan budaya, yang mendominasi suatu negara atau daerah tersebut, dan memiliki jumlah lebih banyak.
Sedangkan kaum minoritas adalah orang ataupun kelompok yang memiliki jumlah yang lebih sedikit dibanding dengan kaum mayoritas, sehingga biasanya sering terjadi diskriminasi atau selalu terkalahkan oleh kaum mayoritas. Pada dasarnya kaum minoritas memiliki hak yang sama dengan kaum mayoritas.
Sebenarnya dalam hak-hak kaum minoritas, dalam hal ini berkaitan dengan hak beragama, sudah berjalan dengan baik dalam pelaksanaannya.
Akan tetapi, masih sering terjadi konflik yang tidak diinginkan, antara kaum minoritas dan juga mayoritas. Menurut Kymlicka, hak seorang individu sangat berhubungan dengan hak sebuah kelompok. Ketika hak sebuah kelompok tersebut tidak dapat dipenuhi, maka hak individu juga tidak akan terpenuhi.
Ketika hak kaum minoritas tersebut tidak terpenuhi untuk beribadah, maka hak setiap individu tersebut tidak terpenuhi untuk melaksanakan ibadahnya.
Sehingga dalam kasus-kasus seperti kasus penolakan pembangunan rumah ibadah ini, hak kaum minoritas harus diperjuangkan. Karena dapat dikatakan bahwasannya hak-hak kaum minoritas ini tidak terpenuhi, karena untuk mendirikan bangunan untuk beribadah saja tidak diperbolehkan.
Menumbuhkan Sikap Toleransi Antarumat Beragama
Dari kasus penolakan rencana pembangunan rumah ibadah kita dapat melihat bahwa kurangnya rasa toleransi antarumat beragama di Indonesia ini masih sering terjadi. Untuk itu menumbuhkan sikap toleransi antarumat beragama di tengah masyarakat adalah hal penting yang harus dilakukan.
Langkah pertama yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan sikap toleransi adalah dimulai dari diri sendiri dengan memahami arti dari toleransi.
Pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain.
Toleransi juga dapat berarti suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu (perseorangan) baik itu dalam masyarakat ataupun dalam lingkup yang lain. Sikap toleransi dapat menghindari terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat.
Toleransi terjadi karena adanya keinginan-keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari perselisihan yang saling merugikan kedua belah pihak (Wikipedia.org). Hal yang harus dilakukan dalam bertoleransi adalah dengan menghargai dan menerima perbedaan yang ada, menghormati orang lain ketika beribadah, menghargai hak orang lain, dan tidak memaksakan kehendak. Dengan melakukan hal tersebut, harapannya kerukunan dan kedamaian tetap tercipta di tengah kemajemukan bangsa Indonesia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H