Ia mesti berlari menghindar. Rasa sakit tak tertahankan, tetapi ia harus terus berlari. Luka robek bagian kiri badannya terasa nyeri. Sesekali ia mengerang keskitan. Selebihnya ia mencoba menahan!
   "Kita harus berpencar. Kamu ke sana, kamu ke situ," pinta salah satu dari mereka.
    Vana meringkuk di balik tumpukan karung.  Ia menahan nafas saat lelaki tegap itu mendekat. Vana berusaha mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Sekalipun nanti kalah setidaknya sudah berjuang. Langkah kaki itu terus mendekat.
    Vana terus memperhatikan lelaki tegap itu. Rejeki baginya, seseorang dari mereka memanggil.
     "Jalang itu sepertinya tidak di sini."
     Vana menarik nafas lega. Ia luput!Â
     "Uuuemmm," suaranya tertahan.
     Lelaki itu membekap mulutnya. Vana mencoba memberontak.
     "Agh!" suara mengerang.
     Vana bangkit. Satu tikaman lagi hendak ia tancapkan.
    "Stop, Vana, ini aku," Dery menahan sakit dengan nafas tersengal.
     Vana hanya memandangnya pasrah. Darah mengalir deras.
     "Van, aku...aku mencintaimu," kata Dery.
     Sesaat Vana tertegun mengenang kembali masa bahagia dulu. Dery yang setia membelanya saat kedua orang tuanya melarang. Dery yang siap didepak dari rumah demi dirinya. Vana menitikkan air mata. Ia mendekat, mengecup suaminya itu.Â
   "Bukankah kamu ingin membunuhku demi Vina, selingkuhanmu? Aku tahu, Dery," bisik Vana.
   "Aku tahu kamu sutradaranya, Der," bisik Vana lagi.
   Â
12 Des. 2024
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H