Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Fiksi Mini | Warung Bu Mirah

4 Desember 2024   06:05 Diperbarui: 4 Desember 2024   06:07 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

           "Biasa, Bu," kata Ray dari meja favoritnya, paling sudut.

            Ray terlihat galau. Pandangannya kosong menatap layar ponsel. Berharap pesannya dibalas. Sudah sekian hari pesan itu dikirim, tak dibalas juga.

           "Lemes sekali, Nak," kata Bu Mirah sambil menyodorkan pesanan.

           "Ah, Ibu tidak menagih utang makanmu. Ibu paham kondisimu," lanjut Bu Mirah.

            Ray hanya tersenyum. Sebagai pemuda pekerja serabutan, tentu Ray tidak mampu melunasi utangnya dalam waktu singkat. Akhir-akhir ini, ia memilih tiduran sepanjang hari. Semangatnya pudar saat gadis pujaannya memilih mengakhiri hubungan.

           "Aku mencintaimu, Ray. Sungguh!" kata Ananda.

            Ray terlihat sinis dengan ucapannya. Ia menahan kesalnya.

           "Kenapa harus mengakhiri jika mencintai?" katanya diiringi suara parau.

           "Pahami aku, Ray, tolong!" kata Ananda lirih.

            Keadaan menjadi canggung. Ray bingung bagaimana harus berbicara lagi. Sepertinya percuma, Ananda tetap ingin pergi.

           "Ibu sudah menjodohkanku dengan pilihannya. Aku tak kuasa menolak, Ray," jelas Ananda sebelum ia beranjak.

         Ray hanya menatap nasi goreng di atas meja. Kopi pun sudah mulai dingin. Bu Mirah sangat kasihan padanya. Meskipun hobi berhutang, Ray adalah pria baik bagi Bu Mirah. Ia cekatan membantu apa saja di warung ini jika lagi tak nguli.

        "Lo, kok lemes, Nak?" Bu Mirah menyambut kedatangan putrinya.

        Yang disapa hanya mematung menatap ibunya. Ia mendekat, memeluk erat orang yang melahirkannya itu.

        "Makan dulu ya," tawar sang ibu.

         Putrinya hanya menggeleng. Bu Mirah kebingungan. Si tukang utang yang dikasihinya memilih tiduran di meja warung. Begitu pula putri semata wayangnya.

        "Pamit, Bu," Ray berdiri dengan wajah lesu tanpa mencicipi hidangannya.

        "Kok pamit?"

         "Eh, Nak, bantu Ibu, bereskan meja itu," Bu Mirah membangunkan anaknya.

        Keduanya saling menatap. Tak ada yang memulai pembicaraan. Hening!

       "Ray, ini Ananda, anakku. Nda, ini Ray, yang Ibu sering cerita, suka ngutang," kenal Bu Mirah.

       "Anak Bu Mirah?" Ray terkejut.

        "Kenal?" tanya Bu Mirah.

         Ray mengangguk. Ananda salah tingkah. Bu Mirah jadi paham.

         "Nda, ini laki-laki yang hendak Ibu jodohkan denganmu."

         "Aku aja yang bereskan piringnya. Sekalian aku cuci, Bu," Ray kegirangan.

        4 Desember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun