Wajah mungil itu membuatku tersenyum sendiri. Senyum manisnya, semanis senyum ibunya. Aku betah bersamanya hari itu. Ah, Rino, lelaki itu, harusnya kugebuk saat di warung kopi.
"Kok cemberut?" tanya temanku.
"Kamu sakit gigi?" tanyaku.
"Pakai nanya," jawabnya.
"Oh, maaf," aku tertawa kecil.
Aku baru ingat, pukulan telak waktu itu penyebabnya.
"Aku mencintainya," kataku kemudian.
"Aku tahu yang kamu pikirkan," lanjutku saat temanku itu hendak berbicara.
Aku kembali terdiam. Ada bongkahan kesepian merusak hariku. Aku hanya jatuh cinta, tapi seolah dunia tidak menghendaki. Aku mencoba menerima kenyataan, meskipun belum kusampaikan cintaku. Setidaknya, Putri merasakan kehadiranku.
"Dilan sudah menceritakannya," suara Putri tiba-tiba terdengar.
Ia berhasil membuatku malu. Aku mencoba mengalahkan rasa maluku. Secepat kilat, kupetik bunga di taman dekat tempatku duduk. Aku yakin, ia menerimaku.
"Aku tak bisa melupakanmu dalam hariku," kataku menahan malu.
"Apa-apan kamu? Jangan-jangan kamu suka sesama jenis?" teriak Dilan.
Aku tersadar. Halusinasi membuatku tak karuan.
14 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H