Wajah mungil itu membuatku tersenyum sendiri. Senyum manisnya, semanis senyum ibunya. Aku betah bersamanya hari itu. Ah, Rino, lelaki itu, harusnya kugebuk saat di warung kopi.
"Kok cemberut?" tanya temanku.
"Kamu sakit gigi?" tanyaku.
"Pakai nanya," jawabnya.
"Oh, maaf," aku tertawa kecil.
Aku baru ingat, pukulan telak waktu itu penyebabnya.
"Aku mencintainya," kataku kemudian.
"Aku tahu yang kamu pikirkan," lanjutku saat temanku itu hendak berbicara.
Aku kembali terdiam. Ada bongkahan kesepian merusak hariku. Aku hanya jatuh cinta, tapi seolah dunia tidak menghendaki. Aku mencoba menerima kenyataan, meskipun belum kusampaikan cintaku. Setidaknya, Putri merasakan kehadiranku.
"Dilan sudah menceritakannya," suara Putri tiba-tiba terdengar.
Ia berhasil membuatku malu. Aku mencoba mengalahkan rasa maluku. Secepat kilat, kupetik bunga di taman dekat tempatku duduk. Aku yakin, ia menerimaku.