Penjelasanku tak terdengar, Rara berlalu.
  Aku tetap percaya, cinta tidak menjamin bahagia, minimal harus ada harta sebagai pendukungnya.
  Aku tersiksa membayangkan saat itu. Seandainya kuturut maunya, barangkali aku bahagia.
  "Ada yang menunggumu di depan," kata ibuku mengagetkan saat kumelamun.
  Aku bergegas menjumpai. Ia menatapku dan tersenyum. Cantiknya tak pudar-pudar. Ia makin memikat. Ia lagi-lagi tersenyum.
  "Apa kau bahagia?" tanyanya.
  "Antara bersalah dan tersiksa," jawabku.
  "Mendekatlah," katanya.
  Aku menurut. Ia memelukku.
  "Leo menikahi karena cinta, Win," katanya.
  "Datanglah," katanya lagi sambil memberiku undangan pernikahan.