Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Fiksi Mini: Hidup Itu Pilihan

25 September 2023   05:08 Diperbarui: 25 September 2023   07:03 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

                           Hidup Itu Pilihan

    Aku teramat sakit jika membayangkan wajahnya.

       Membayangkan wajahmu adalah siksa.
       Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
       Engkau telah menjadi racun bagi darahku.

       (Kutipan Puisi "Kangen" W. S. Rendra)

    Ya, syair pujangga ternama ini mewakili keadaanku. Aku kesepian. Aku tersiksa. Wajah cantik itu luka. Aku masih ingat, dulu ia ngebet nikah denganku.

     "Sampai kapan kita begini? Bukankah pelaminan adalah tujuan?" katanya.

     "Membina bahtera rumah tangga, bukan hanya modal cinta, Ra," jawabku.

     "Bukankah cinta segalanya, Win?" katanya.

     Erwin terdiam. Ada benarnya kata Dara, tapi tidak sepenuhnya. Ia tak tahu menjelaskannya. Soal cinta, ia sangat mencintainya. Menikahinya, belumlah tepat. Masih ada yang perlu dipikirkan.

    "Ra, cinta bukanlah segalanya. Harta adalah salah satunya. Bagaimana aku menghidupimu hanya dengan cinta," kata Erwin.

    Dara berdiri,"Cinta adalah kekuatan. Semua dilandasi cinta untuk berumah tangga, bukan harta," jelas Dara.

    Penjelasanku tak terdengar, Rara berlalu.

    Aku tetap percaya, cinta tidak menjamin bahagia, minimal harus ada harta sebagai pendukungnya.

    Aku tersiksa membayangkan saat itu. Seandainya kuturut maunya, barangkali aku bahagia.

    "Ada yang menunggumu di depan," kata ibuku mengagetkan saat kumelamun.

    Aku bergegas menjumpai. Ia menatapku dan tersenyum. Cantiknya tak pudar-pudar. Ia makin memikat. Ia lagi-lagi tersenyum.

    "Apa kau bahagia?" tanyanya.

    "Antara bersalah dan tersiksa," jawabku.

    "Mendekatlah," katanya.

    Aku menurut. Ia memelukku.

    "Leo menikahi karena cinta, Win," katanya.

    "Datanglah," katanya lagi sambil memberiku undangan pernikahan.

      Ia berlalu. Ponselku berdering. Wain sahabatku mengirimi pesan.

     "Apa Dara memberimu undangan? Ia menikah dengan putra konglomerat, Win," pesan Wain.

     Aku tersenyum dalam kepahitan.

20 September 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun