Rahasia Pertemuan
  Aku sangat mencintainya. Mencintai apa adanya, bukan karena ada apa-apanya. Ia pun begitu. Janji itu sudah terucap beberapa tahun lalu. Seperti puisi fenomenal karya Sapardi.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(Sapardi Djoko Damono)
  Aku ingat hari itu, saat kududuk santai menikmati rokok kesukaanku.
  "Sendirian saja?" tanyanya.
  Aku tersenyum, sedikit tak menanggapi. Penampilannya aduhai. Bisa ditebak ia bukan orang dari kalangan biasa. Tas kecilnya bermerek hermes. Gila!
  Pertemuan itu membekas. Itulah sebabnya aku berada di restaurant mewah ini. Menunggunya menghampiriku. Aku sudah menyiapkan bunga untuknya. Bahkan hendak membacakan puisi "Aku Ingin" karya Sapardi. Kusudah total siapkan diri ini. Sebab dari kaca mataku selama ini, ia orang sederhana sekalipun dari kalangan atas. Apalagi, ia sempat mengirimiku puisi "Aku Ingin".
  Kesempatanku hari ini, di tempat ini. Mencurahkan isi hati yang terpendam selama ini. Aku melihatnya datang. Sempat terpikir menjemputnya di pintu. Tapi, kuurungkan, sebab aku sedikit gugup. Aku memberi kode kepada karyawan di restauran. Instrumen lagu Bryan Adams, "Everything I Do," memberikan nuansa romantis. Ia terlihat biasa saja, kemudian ia baru menyadarinya. Ia tersenyum kepadaku
  "Thanks," ucapnya.
   Aku tersenyum dan sedikit deg-degan. Aku bingung memulainya. Jadilah hening. Sampai ia membuka pembicaraan.
   "Pertemuan yang indah," katanya.
   "Sangat indah dan khusus untukmu," kataku.
   "Tunggu sebentar," katanya sambil membuka ponselnya.
   Aku masih deg-degan. Aku merogoh saku mengambil cincin yang sudah kubeli. Aku menyiapkan diri mengatakannya.
   "Via, aku...,"
     Ia tampak tak menanggapi. Seorang laki-laki menghampirinya. Ia tegap dan berpenampilan elegan. Aku terdiam tak melanjutkan kalimatku.
    "Ndre, kenalkan, ini...."
    "Aku tahu, Via, oh, maaf, aku terlalu baper," kataku dan berlalu. Semua orang menatapku. Semua tahu kekecewaanku. Aku tertawa dalam kebodohanku.
   "Ndre," panggilnya.
   Aku menghentikan langkahku tepat di pintu keluar.
   "Hei, apa yang terjadi? Bagaimana dengan ini?" katanya.
   Aku berbalik. Silvia memegang kotak cincin yang kutinggalkan.
   "Tidak perlu kujelaskan lagi," kataku mantap menyembunyikan kecewaku.
   Silvia tersenyum.
   "Aku tahu, aku tahu. Ini David, temanku," katanya tersenyum.
   Aku mematung. Silvia mendekatiku dan memelukku. Semua bersorak. Bahkan ada yang memfoto juga memvidiokan momen ini.
   "Sekarang katakan," bisiknya.
   Aku malu. Wajahku memerah. Silvia mendesak.
   "Ijinkan aku menjadi sandaranmu selamanya," kataku.
   Silvia mengeratkan pelukan.
21 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H