Rahasia Pertemuan
  Aku sangat mencintainya. Mencintai apa adanya, bukan karena ada apa-apanya. Ia pun begitu. Janji itu sudah terucap beberapa tahun lalu. Seperti puisi fenomenal karya Sapardi.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
(Sapardi Djoko Damono)
  Aku ingat hari itu, saat kududuk santai menikmati rokok kesukaanku.
  "Sendirian saja?" tanyanya.
  Aku tersenyum, sedikit tak menanggapi. Penampilannya aduhai. Bisa ditebak ia bukan orang dari kalangan biasa. Tas kecilnya bermerek hermes. Gila!
  Pertemuan itu membekas. Itulah sebabnya aku berada di restaurant mewah ini. Menunggunya menghampiriku. Aku sudah menyiapkan bunga untuknya. Bahkan hendak membacakan puisi "Aku Ingin" karya Sapardi. Kusudah total siapkan diri ini. Sebab dari kaca mataku selama ini, ia orang sederhana sekalipun dari kalangan atas. Apalagi, ia sempat mengirimiku puisi "Aku Ingin".
  Kesempatanku hari ini, di tempat ini. Mencurahkan isi hati yang terpendam selama ini. Aku melihatnya datang. Sempat terpikir menjemputnya di pintu. Tapi, kuurungkan, sebab aku sedikit gugup. Aku memberi kode kepada karyawan di restauran. Instrumen lagu Bryan Adams, "Everything I Do," memberikan nuansa romantis. Ia terlihat biasa saja, kemudian ia baru menyadarinya. Ia tersenyum kepadaku
  "Thanks," ucapnya.