Reuni
  Tidak ada yang istimewa dalam diriku. Pokoknya: nihil! Rupawan? Tidak. Wajahku biasa saja, bahkan jauh di bawah biasa. Kaya? Oh, tidak. Hidupku pas-pasan. Jadi, untuk dapat pasangan, itu jauh dalam khayalan. Sekedar bermimpi, aku sungkan, saking tidak PD-an. Bagaimana mau ada gebetan, hari gini harus punya modal.Â
Tampang rupawan, harta pas-pasan, tentu itu jaminan. Tampang biasa, harta seliweran, ini juga jaminan. Dan aku, tidak memiliki keduanya. Itulah masalahnya. Terkadang, dalam sumpeknya pikiran, aku menyalahkan silsilah keturunan yang tidak mewarisi ketampanan.
 "Perawatan, bro," kata temanku dulu.
Aku masih ingat itu. Tentu aku mau. Waktuku banyak untuk itu. Apalagi aku pegawai paruh waktu. Terus, modalnya? Tentu tak punya.
Celakanya minggu depan, aku dan teman-temanku reunian. Aku wajib datang dengan pasangan. Kalau tidak, aku jadi bahan olokan. Parahnya lagi, Dion, temanku satunya taruhan jutaan. Artinya, kalau aku bawa gebetan, Dion menang. Kalau tidak, lenyaplah jutaannya.
Aku ingat waktu itu, disaat bingungku merepotkanku, Dion mengabariku. Dalam pesannya, aku diminta siap batin saja. Sudah ia temukan perempuan untuk sandinganku nantinya. Kabarnya, ia sudah perlihatkan fotoku. Dan, tidak masalah. Setelahnya kami saling telepon. Dina namanya, gadis cantik nan sedehana. Aku terpikat saat dengar suaranya pertama kali. Seperti laki-laki kebanyakan, foto Dina kujadikan wallpaper.
Aku duduk di meja belakang di kafe itu, sesuai janji kami semalam. Tak lama berselang, wanita rupawan datang.
"Dina," kenalnya.
Aku gelagapan. Cantiknya melebihi foto yang dikirimnya tempo hari. Ini berbeda seperti umumnya. Lazimnya, foto lebih cantik dari asli.
"Riki," kataku.