Gara-Gara Ayang
M. Hamse
Februari 2023
           Wajah sangar, dengan jambang lebat. Lengan bertato. Jari-jari bercincin akik. Berbadan tegap. Mereka tiba-tiba datang. Berhasil membuat Dadang terkekang. Ia keringat, kalau ditakar, mungkin sedandang! Mereka tidak banyak bincang. Hanya duduk, sambil memperhatikan suasana rumah yang kini tegang.
        "Apa ini rumah Dadang?" tanya salah satu yang berwajah paling sangar.
        Pak Tatang tergagap. Ia tak mampu menatap wajah garang itu. Pikirannya mulai berkecamuk. Dadang masuk penjara, kalau tidak segera masalah ini diselesaikan dengan uang. Hanya itu satu-satunya cara berdamai yang gampang. Kalau Dadang masuk penjara, siapa lagi yang akan membanting tulang menafkahi keluarga.
        "Di belakang," jawab Pak Tatang gelagapan.
        Dadang sedang duduk meringkuk di pinggir pintu kamar. Antisipasi di serang, sehingga gampang ia menerjang dinding kamar. Ibunya datang, menenagkannya. Mengelap keringatnya yang tak kunjung berhenti. Wajahnya kusut. Ada segurat harapan di sana, semoga masalahnya baik-baik saja. Bisa diselesaikan dengan cara yang sama, seperti yang dilakukan banyak orang: uang!
        Ini gara-gara si Ayang, yang minta dijemput sehabis berenang. Itulah awal sial ini datang. Coba kalau Ayang tidak memaksa datang. Pasti kesialan ini jauh dari pandang.
        "Prak...!" suara tubuh diterjang.
        Dadang panik, lalu menghilang. Menyelinap di antara kerumunan orang-orang yang berdatangan.
        Dua laki-laki sangar itu mulai tak tenang. Dadang yang sedari tadi ditunggu tidak datang.
        "Mana Dadang?" tanyanya lagi.
        Pak Tatang bergeming, saat bola matanya melihat sesuatu yang laki-laki itu keluarkan dari tas pinggang. Sebuah benda yang mirip pistol. Diletakkan di atas meja.
        "Mana Dadang?" tanyanya lagi.
        Untung, Bu Lintang cepat datang. Menyerahkan segepok uang tabungan. Kira-kira 10 juta rupiah. Dengan cepat Pak Tatang mengambilnya. Meletakkannya di depan dua laki-laki garang itu. Ia berbicara gagap tak tenang.
        "Ma...ma...maaf. Maafkan Dadang, mohon jangan lapor polisi," kata Pak Tatang terbata-bata.
        Dua laki-laki garang itu saling berpandangan. Yang satunya meraih segepok uang. Tanpa dihitung, tentu tahulah itu jumlahnya berapa. Mereka tak berhenti saling pandang, hingga satunya buka suara.
        "Ini kebanyakan, Pak. Barang ini harganya hanya Rp 50.000 rupiah."
        "Kami mohon maaf, bungkusannya robek," kata salah satunya.
        Pak Tatang beradu pandang dengan Bu Lintang.
        "Itu pesananku ya," kata Dadang yang masih tak percaya.
        Dua laki-laki itu mengangguk.
        Dadang tertawa lantang. Kemarin ia memesan barang online, pistol-pistolan untuk keponakannya.
        Pak Tatang kembali tenang. Bu Lintang tersenyum. Semuanya kembali girang.
        "Ting tong..." suara bel rumah.
        Dadang bergegas membukakan pintu. Mereka memperhatikan dengan seksama vidio di layar ponsel. Rekaman Closed Circuit Television (CCTV) kecelakaan lalu lintas tadi sore.
        "Anda Dadang?"
        Dadang terdiam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H