Untuk si panjang sabar, jangan lupa, buang ingatan nakalmu tentang senyumku yang lapang. Kenangan adalah masalah yang bisa menganga prahara!
Aku tidak mengerti sajak apalagi kalau terlalu panjang. Yang aku tahu, aku harus datang dan menjemput senyumnya pulang. Aku buru-buru berlari kecil menuju keluar. Sial pasti selalu datang, oto penumpang sudah beranjak hilang. Aku pun hilang arah dan pusing seolah bertandang. Aku berlari lagi, masuk lagi warung yang sama.
"Oto tadi ke arah mana?" tanyaku berharap diimbang.
"Yang mana? Tadi itu banyak. Ada yang ke utara, ada yang ke selatan, ada yang ke barat, ada yang ke timur." Astaga, penjelasan yang panjang buatku mengerang.
Aku hidupkan motorku. Buru-buru melayang di atas aspal berlubang ke arah selatan. Aku ikuti hati saja, berharap aku tidak salah. Aku melaju kencang tidak menghiraukan jalan yang berlubang. Aku pastikan membawanya pulang. Tidak lama berselang, di tikungan di depan aku melihat bagian belakang oto penumpang. Aku girang, aku terus melaju kencang.
Oto penumpang berhenti dekat jalan yang berlubang. Aku bisa melihatnya dari lampu sein yang menyala terang. Aku bimbang. Jantungku berdetak kencang. Bagaimana aku menyapanya kalau memang ia datang. Ah, memang di yang turun dari oto penumpang itu. Aku makin tidak karuan. Suasana hatiku antara bimbang dan senang.
Aku parkirkan motorku sedekat mungkin dengan oto penumpang yang masih sibuk mengembalikan ongkos si rambut pirang. Aku menarik nafas dalam, menghembuskan rasa kecewa yang berceceran.Â
Si rambut pirang menggendong bayi di pangkuan, berjalan ke seberang. Ia di sambut laki-laki bertubuh atlet. Ia menyadari aku datang. Ia masih memberiku senyum, hanya saja aku tidak menangkapnya seperti di warung. Aku harus kembali pulang dengan kedongkolan yang panjang.
20 April 2020
 M. Hamse
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H