Mohon tunggu...
Mariana  Saragi
Mariana Saragi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Darurat Sipil vs Bencana Nasional Kabut Asap

8 Oktober 2015   00:21 Diperbarui: 8 Oktober 2015   00:54 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

turut berduka mengenai kabut asap, semoga cepat teratasi.

Berbagai pernyataan korban bencana asap ini yang meminta kenaikan status asap menjadi bencana nasional, beberapa waktu lalu saya sempat membaca share dari Melanie Subono mengenai peringatan tentang Bencana Nasional Kabut Asap

Sahabat
Plis baca dulu

STOP mendorong asap ini menjadi BENCANA NASIONAL

Ini jebakan. Yang pernah terjadi sebelumnya.

Jangan mau terjebak sama pemerintah.

Ini BUKAN bencana.

Bencana adalah hal yg terjadi karna alam, Tuhan seperti gunung meletus dll

Sementara kita meyakini ini adalah perbuatan manusia. Yang rakus, yang ga punya moral.

Nih.

Saat lo menggunakan kata BENCANA,

Yang terjadi adalah satu contoh kasus klasik.

LAPINDO, inget?

Semua orang minta itu jadi bencana nasional.
Akibatnya?

Secara HUKUM kalau bencana, Perusahaan TIDAK WAJIB menyelesaikan atau membayar ganti rugi dll

Kata yang benar harus dipakai adalah
DARURAT SIPIL.

Seperti perang.

Jadikan asap ini keadaan DARURAT SIPIL.

Plis sebar sebelum ini dijadikan bumerang lalu ada lagi yang bebas dari tanggung jawabnya.

#tinjuMusuhAlam

Itu yang di tertera pada caption dari photo yang di upload oleh Melanie Subono hal ini juga yang lantas membuat gw bertanya tanya mengenai gugurnya sebuah kewajiban ) ketentuan pidana seseorang/seorang lembaga dari sebuah bencana nasional, bermodalkan google dan internet maka gw mencari undang undang yang berkaitan dengan Bencana, Lingkungan serta pidana yang bisa dibebankan terhadap pelaku.

Bencana Nasional dan Gugurnya Ketentuan Pidana

sebagai orang awam yang bermodal google saya menemukan ketentuan pidana dalam undang undang nomor 24 tahun 2007 dalam pasal 75 berbunyi

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan  pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) yang mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling     sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

muncul pertanyaan

bagaimana jika analisis resiko bencana dimiliki secara lengkap, namun bencana tetap terjadi karena takdir misalnya?

masih bisakah pelaku dijerat menggunakan pasal ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun