Walaupun Gereja Katolik memiliki tradisi yang membatasi jabatan imamat bagi laki-laki saja, ini tidak berarti bahwa perempuan dikesampingkan dari kepemimpinan di bidang lain. Gereja mendukung partisipasi perempuan dalam kepemimpinan sosial dan politik, di mana mereka dapat mengambil peran penting dalam merumuskan kebijakan yang memajukan kesejahteraan masyarakat. Paus Fransiskus, dalam beberapa kesempatan menekankan perlunya perempuan berperan lebih besar dalam pengambilan keputusan, baik di dalam Gereja maupun di masyarakat luas. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada batasan dalam hal tertentu, Gereja tidak menghalangi perempuan untuk berperan aktif di ruang publik.
Lebih jauh, ajaran sosial Gereja, terutama melalui prinsip subsidiaritas dan solidaritas mendukung partisipasi perempuan dalam politik. Prinsip subsidiaritas menyatakan bahwa keputusan seharusnya diambil di tingkat yang paling dekat dengan mereka yang terpengaruh oleh keputusan tersebut. Dengan demikian, keterlibatan perempuan di tingkat lokal, nasional, dan internasional dianggap penting untuk memastikan bahwa keputusan politik mencerminkan kebutuhan dan realitas semua anggota masyarakat, khususnya kebutuhan perempuan itu sendiri. Prinsip solidaritas, di sisi lain menggarisbawahi bahwa semua orang bertanggung jawab satu sama lain. Partisipasi perempuan dalam politik dipandang sebagai bagian dari tanggung jawab bersama ini, di mana perempuan dapat memperjuangkan hak-hak kelompok rentan dan tertindas, serta mendorong kebijakan yang adil dan manusiawi.
Kesimpulannya, Gereja Katolik mengakui hak politik perempuan sebagai bagian integral dari martabat manusia yang setara, yang mencerminkan panggilan mereka untuk membangun masyarakat yang adil, damai, dan bermoral. Ajaran Gereja tidak hanya mendukung hak-hak perempuan untuk terlibat dalam politik, tetapi juga mendorong mereka untuk mengambil peran aktif dalam memperjuangkan kebaikan bersama, sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika Kristiani.
Analisis
Dalam konteks teori Clayton dan Crosby dalam bukunya "Justice, Gender, and Affirmative Action" (1992), teori tersebut dapat membantu menganalisis mengenai isu keadilan gender dan kebijakan afirmatif dalam politik Indonesia. Teori ini menyatakan bahwa kebijakan afirmatif dirancang untuk mengatasi ketidaksetaraan sistemik dan struktural yang dihadapi oleh perempuan, khususnya dalam dunia politik. Kebijakan afirmasi 30% keterwakilan perempuan di Indonesia adalah contoh konkret dari tindakan afirmatif yang dimaksud dalam teori ini.Â
Kebijakan tersebut bertujuan untuk memperbaiki distribusi keadilan dalam partisipasi politik perempuan dan mendorong representasi perempuan dalam politik. Namun, kebijakan tersebut pada kenyataanya masih belum diterapkan sepenuhnya dan masih banyak menemukan berbagai persoalan. Menurut pandangan Clayton dan Crosby, adanya resistensi terhadap tindakan afirmatif seringkali disebabkan oleh struktur sosial, seperti budaya patriarki yang mengakar kuat yang melanggengkan ketidakadilan distributif di Indonesia sehingga menghambat keefektifan penerapan kebijakan afirmasi. Selain itu, teori ini juga berargumen bahwa adanya persoalan mengenai penempatan nomor urut pada caleg perempuan menunjukkan adanya ketidakadilan prosedural. Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam proses pencalonan. Ketidakadilan dalam hal prosedur ini lah yang menurut teori ini menghambat kebijakan afirmasi dalam mencapai tujuannya. Padahal, keadilan prosedural sangatlah penting sebagai instrumen dalam mencapai kesetaraan.
Isu mengenai hak politik perempuan juga dapat dianalisis dengan teori Anne Phillip dalam bukunya "The Politics of Presence". Ia menyatakan bahwa kehadiran langsung kelompok-kelompok terpinggirkan dalam institusi politik sangatlah penting untuk membawa perspektif baru dalam proses politik. Tidak cukup hanya memiliki representasi politik melalui wakil-wakil yang mengklaim bahwa dirinya mewakili kepentingan suatu kelompok tanpa benar-benar memiliki pengalaman hidup yang sama dengan kelompok yang diwakilinya tersebut. Dengan teori tersebut, dapat dianalisis bahwa kehadiran langsung perempuan dalam politik sangat penting untuk memastikan bahwa kepentingan dan pengalaman hidup mereka terwakili dengan baik. Tanpa adanya kehadiran perempuan secara langsung dalam proses pembuatan kebijakan, maka kebijakan yang dihasilkan akan tetap didominasi oleh perspektif laki-laki yang seringkali mengabaikan dan meremehkan kebutuhan perempuan.Â
Kesimpulan
Hak politik perempuan penting bagi negara Indonesia karena memastikan kesetaraan dalam partisipasi politik untuk memperkuat demokrasi dan menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan representatif. Negara menjamin hak politik perempuan melalui UUD 1945 dan kebijakan afirmasi 30% keterwakilan perempuan, meskipun masih banyak tantangan dalam realisasinya. Dari perspektif Gereja Katolik, hak politik perempuan didasarkan pada martabat manusia yang setara, seperti dinyatakan dalam Kitab Kejadian dan ajaran Paus. Gereja Katolik mendorong partisipasi perempuan dalam politik untuk memajukan keadilan dan kesejahteraan bersama. Secara keseluruhan, baik negara maupun agama Katolik mendukung keterlibatan perempuan dalam politik sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan bermoral.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansa, D. (2016). Menghadirkan Kepentingan Perempuan dalam Representasi Politik di Indonesia. Jurnal Politik, 2(1), 72-99.
Cakra Wikara Indonesia. (2021). Perjuangan Kesetaraan dalam UU Perkawinan. Cakra Wikara Indonesia.
Cakra Wikara Indonesia. (2024). Keterwakilan Perempuan di DPR RI Meningkat dengan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka. Cakra Wikara Indonesia.