Perspektif Negara dalam Melihat Pentingnya Hak Politik Perempuan Â
Hak perempuan yang paling penting di Indonesia saat ini adalah hak politik perempuan. Hak tersebut sudah diakui melalui berbagai kebijakan di Indonesia yang mendukung partisipasi perempuan dalam ranah politik. Melalui UUD 1945, kesetaraan hak bagi semua warga negara, termasuk perempuan dijamin supaya warga negara dapat berpartisipasi dalam pemerintahan dan pemilihan umum. Dengan adanya konstitusi tersebut, negara wajib untuk menjamin kesetaraan bagi seluruh warga negara tanpa adanya diskriminasi, termasuk dalam bidang politik. Jaminan kesetaraan ini kemudian akan memperkuat demokrasi di Indonesia sebab demokrasi sejatinya terwujud ketika seluruh kelompok masyarakat, termasuk kelompok perempuan memiliki hak yang setara untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dengan memastikan hak politik perempuan sebagai prioritas, maka diharapkan keterlibatan perempuan dalam politik dapat memberi perspektif baru pada kebijakan publik yang lebih inklusif, representatif, dan dan sensitif terhadap isu-isu perempuan yang kerap kali terabaikan.
Selain UUD 1945, terdapat pula kebijakan yang mengakomodasi perempuan, yaitu kebijakan afirmasi mengenai kewajiban 30% keterwakilan perempuan dalam politik seperti yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017. Peraturan ini diterapkan untuk menjamin kesetaraan peluang perempuan dalam politik, khususnya dalam pencalonan legislatif dan kepengurusan partai politik supaya perempuan dapat terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan dan mengawal kepentingan perempuan (Gaol & Panjaitan, 2023). Walau begitu, keterwakilan perempuan dalam politik masih saja mengalami banyak masalah dan kekurangan untuk mencapai angka tersebut. Berdasarkan data dari KPU yang diolah oleh CWI, dinamika keterwakilan perempuan di DPR RI dalam 5 pemilu terakhir tidak pernah mencapai angka 30%. Pada Pemilu 2004, keterwakilan perempuan dalam parlemen mencapai 11,09%, pada Pemilu 2009 mencapai 17,86%, pada Pemilu 2014 mencapai 17,32%, pada Pemilu 2019 mencapai 20,52%, dan pada Pemilu 2004 mencapai 21,9% (Cakra Wikara Indonesia, 2024). Meskipun peraturan tersebut memang hanya berfokus dalam mendorong pencalonan saja dan tidak mewajibkan persentase tertentu bagi keterpilihan perempuan dalam parlemen, namun persentase keterwakilan perempuan dalam parlemen yang tidak mencapai 30% membawa situasi di mana agenda-agenda perempuan menjadi sulit untuk direalisasikan.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari internal maupun eksternal (Fathoni et al., 2024). Dari faktor internal, perempuan biasanya diidentikan dengan urusan-urusan domestik untuk mengurus rumah tangga sehingga motivasi yang diberikan oleh keluarga supaya perempuan berpartisipasi dalam politik rendah. Selain itu, partisipasi perempuan dalam politik juga terhambat akibat adanya budaya patriarki yang menganggap bahwa laki-laki berada di atas perempuan dan hanya laki-laki saja yang pantas untuk mengurus urusan politik. Alhasil, kebijakan dan keputusan yang dibuat dalam proses politik selalu dibentuk atas dominasi laki-laki sehingga produk politik yang dihasilkan seringkali tidak sesuai atau bahkan mendiskriminasi perempuan. Misalnya, DPR periode 2014-2019 gagal mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga, serta Rancangan Undang Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender. Selain itu, terdapat pula UU KIA yang semakin mendomestikasi peran perempuan dengan memberikan hak cuti melahirkan lebih panjang bagi ibu daripada hak cuti ayah. Ada pun UU Nomor 1 Tahun 1974 juga merugikan perempuan karena melegalkan perkawinan anak perempuan pada umur 16 tahun.
Persoalan juga dapat dilihat dari berbagai fakta-fakta lain terkait keterwakilan perempuan dalam politik. Dalam proses pencalonan, partai politik terbukti jarang menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 1 dan menempatkan mereka pada nomor urut 3 untuk memenuhi syarat minimal, sementara laki-laki sering ditempatkan pada nomor urut 1 (Chusnul Mariyah Official, 2024 dan Gaol & Panjaitan, 2023). Hal ini terbukti dalam Pemilu 2019 ketika hanya 18% saja perempuan yang ditempatkan pada nomor urut 1. Pencalonan perempuan minimal 30% bagi partai politik juga hanya dilakukan untuk memenuhi syarat administratif saja supaya partainya bisa ikut dalam pemilu (Ardiansa, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa partai tidak serius dalam mendorong representasi perempuan. Untuk memenuhi syarat itu pun, partai masih merasa kesulitan untuk menemukan caleg perempuan yang memang berpotensi dalam politik. Alhasil, partai politik seringkali mencalonkan perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit partai laki-laki sehingga kualitas caleg perempuan menjadi kurang terjamin. Kesulitan yang dialami partai politik dalam memenuhi aturan kuota tersebut juga terlihat dari fakta bahwa distribusi sebaran pencalonan tidak merata di berbagai wilayah (Chusnul Mariyah Official, 2024). Hal ini dibuktikan pada data Pemilu 2009 ketika terdapat 8 dapil yang tidak mencapai batas minimal pencalonan tersebut. Terlebih lagi, pada pemilu legislatif tahun 2024, terdapat 16 dapil yang sama sekali tidak bisa menghadirkan keterwakilan perempuan, Kondisi tersebut diperparah pula dengan tidak adanya tindak lanjut berupa penerapan sanksi berupa diskualifikasi bagi partai politik yang tidak memenuhi batas minimal pencalonan di dapil tersebut.
Selain persoalan dalam hal pencalonan, persoalan juga ditemukan pada keterwakilan perempuan di parlemen. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa jumlah perempuan yang mengisi posisi pimpinan pada Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR RI masih sangat rendah (Gaol & Panjaitan, 2023). Misalnya, dari hasil Pemilu 2019, dari 93 posisi pimpinan di AKD DPR RI, hanya terdapat 12 aleg perempuan yang mengisi posisi pimpinan. Hal ini tentu membawa kondisi di mana pengambilan keputusan dan penetapan agenda prioritas kebijakan mengabaikan agenda-agenda perempuan karena terdapat sedikit perempuan yang berada dalam jabatan strategis. Selain itu, isu-isu perempuan dan kesetaraan gender juga masih dianggap sebagai isu pinggiran dalam parlemen (Gaol & Panjaitan, 2023). Para aleg cenderung mengutamakan agenda kebijakan partai terlebih dahulu sehingga isu perempuan cenderung diabaikan. Ditambah lagi dengan kondisi di mana dialog substantif antara anggota legislatif lintas partai untuk membahas mengenai isu perempuan masih minim. Hal ini dibuktikan dengan kebuntuan pembahasan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender sejak 2011. Meskipun masih terdapat aleg perempuan yang potensial, mereka pun harus tetap berjuang sendiri untuk mengawal isu perempuan agar disetujui oleh internal partainya sebab partai masih melihat kehadiran perempuan hanya sebagai simbol saja.Â
Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, pemerintah harus melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki keterwakilan perempuan dalam politik. Pertama, pemerintah dapat melakukan penguatan pasal afirmasi dengan menambahkan ketentuan mengenai penempatan 1 caleg perempuan dalam 3 nama calon dan menambah pula ketentuan supaya partai harus menempatkan caleg perempuan pada nomor urut 1 di 30% jumlah dapil (Gaol & Panjaitan, 2023). Penguatan pasal afirmatif juga dapat dilakukan dengan menerapkan tindakan afirmatif berupa reserved seats dengan menetapkan perolehan kursi aleg perempuan di parlemen minimal 30% sesuai dengan batas minimal pencalonan. Selain penguatan dari segi aturan, penguatan juga diperlukan dalam hal individu aleg perempuannya. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan aleg perempuan dalam menyusun dan memahami substansi RUU, serta meningkatkan pemahaman gender dan kemampuan negosiasi agar bisa meningkatkan kerja sama lintas partai dalam mendorong agenda-agenda perempuan.
Perspektif Agama Katolik dalam Melihat Pentingnya Hak Politik Perempuan Â
Dalam ajaran Gereja Katolik, hak politik perempuan memiliki landasan kuat yang berakar pada prinsip martabat dan kesetaraan manusia. Sejak penciptaan, laki-laki dan perempuan dianggap sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Kejadian (Kejadian 1:27). Martabat ini memberi setiap orang hak yang sama untuk berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk dalam bidang politik. Hak-hak politik perempuan tidak dipisahkan dari hak asasi manusia yang lebih luas dan Gereja Katolik berulang kali menegaskan pentingnya perempuan dalam ranah publik. Dalam ensiklik Pacem in Terris (1963), Paus Yohanes XXIII dengan jelas menekankan bahwa perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik dan politik, termasuk dalam proses pengambilan keputusan yang memengaruhi masyarakat secara keseluruhan.
Selain itu, Gereja melihat peran perempuan dalam politik sebagai perwujudan panggilan mereka yang lebih dalam untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan kesejahteraan bersama. Paus Yohanes Paulus II dalam surat apostoliknya, Mulieris Dignitatem (1988), menyatakan bahwa perempuan memiliki peran yang unik dalam membangun masyarakat yang lebih penuh kasih dan bermartabat. Dalam politik, perempuan diharapkan membawa perspektif yang dapat memperkaya kehidupan publik dengan nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan perlindungan terhadap yang lemah. Pandangan ini berangkat dari keyakinan bahwa setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan, dipanggil untuk menggunakan bakat mereka demi kebaikan bersama.