Pagi baru saja merekah saat aku berjalan melewati pelataran RS Islam Ahmad Yani. Keningku berkerut melihat kerumunan orang di depan pintu Instalasi Rawat Jalan. Ada yang berdiri, bersandar di dinding, duduk berselonjor di lantai. Juga ada yang duduk di atas becak yang diparkir dekat pintu. Bukan pemandangan yang aku kira akan aku lihat di depan rumah sakit di Sabtu pagi.
Awalnya aku kira mereka menunggu angkot H2 yang memang lewat (terkadang sampai masuk) pelataran rumah sakit. Ternyata mereka sedang antri, menunggu loket pendaftaran BPJS Kesehatan yang (baru akan) dibuka pukul 8 pagi. Padahal jam di tangan kiriku masih menunjukkan pukul enam kurang dua puluh menit. Wow. Mereka harus melunggu hampir dua setengah jam lagi.
Aku ingin tahu, “Sudah berapa lama mereka menunggu? Jam berapa mereka berangkat dari rumah?”
“Ada yang berangkat setelah subuh, Nak.” Itu jawaban seorang penarik becak yang aku tanyai. Yang tentu saja membuatku mengerutkan kening dan bertanya dalam hati, “Benarkah?”
Ternyata, memang seperti itu adanya.
Ibuku yang juga peserta BPJS dan berobat di RS Islam Ahmad Yani membenarkan apa yang dikatakan penarik becak. “Banyak yang berangkat sebelum subuh. Terutama pasien rujukan dari luar kota. Mereka sengaja datang pagi supaya dapat nomor urut kecil, cepat diperiksa dokter dan bisa pulang sebelum ashar. Kalau mereka datangnya siang, bisa pulang malam.”
Oh, begitu ya. Pantas saja setiap kali ibu harus kontrol rumah sakit atau meminta rujukan ke puskesmas. (Paling lambat) jam tujuh pagi ibu sudah berangkat, tidak lupa membawa sebotol air minum dan makanan kecil, katanya untuk camilan saat menunggu giliran diperiksa. Biasanya ibu baru kembali ke rumah setelah tengah hari, bisa jam satu, atau lebih. Kalau ibu berangkat lebih siang, di atas jam 9, dijamin baru pulang setelah maghrib.
Karenanya aku, kami sekeluarga tidak mempermasalahkan jika ada jadwal kontrol, ibu sudah meninggalkan rumah sepagi mungkin. Kami pasrah saja jika tidak ada makanan di meja makan karena ibu tidak (sempat) memasak. Jika antrian pasien di rumah sakit lebih banyak, lebih panjang dan ibu baru pulang (lama) setelah tengah hari, dan kami harus kembali berlapang dada, membeli makan siang di luar. Tidak mengapa.
Oke, kita abaikan saja paragraf di atas. Kita bicarakan saja tentang program pelayanan kesehatan (pemerintah) yang kini semakin baik.
Aku akui sejak adanya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, masyarakat, terutama yang kurang mampu, bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik, lebih memadai.
Ibuku, peserta BPJS Kesehatan, pernah terkena radang sendi (osteoarthritis) hingga sempat tidak bisa berjalan. Syukurlah, setelah mendapat perawatan (terapi) intensif selama beberapa bulan, kini bisa berjalan lagi dan tidak mengeluhkan sakit di kedua lututnya.
Seorang tetangga yang tidak mampu, akhirnya berhasil menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Haji Surabaya, tanpa ada limit (batas klaim tahunan seperti di asuransi kesehatan swasta). Semua gratis, padahal tetangga tersebut hanya ikut BPJS Kesehatan kelas III.
(Almarhum) paman yang terkena gagal ginjal, bisa melakukan cuci darah dua kali setiap minggu, selama hampir satu tahun. Juga gratis. Kami hanya perlu menebus sedikit obat yang tidak dicover oleh BPJS Kesehatan. Harganya pun relatif murah.
Masih banyak cerita (peserta BPJS Kesehatan) lainnya yang menerima (banyak) manfaat dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), program pelayanan kesehatan yang dibentuk pemerintah.
Memang, sejak dulu program semacam ini sudah ada, tapi menurutku pelaksanaannya tidak seperti BPJS Kesehatan, hasil nyatanya tidak terlihat seperti saat ini.
Masyarakat kurang mampu atau kelas menengah yang (selama ini ) takut berobat ke dokter atau rumah sakit karena kawatir akan besarnya biaya, kini (mereka lebih) berani datang dan memeriksakan diri (kesehatan) di puskesmas dan atau tempat pelayanan kesehatan yang ditunjuk (rekanan) BPJS Kesehatan.
Sayangnya, menurut pengalamanku, program pelayanan kesehatan yang bagus ini kurang diimbangi dengan kemampuan tenaga medis maupun tenaga pendukung, juga kurangnya pemerataan peralatan medis.
Suatu kali, saya memeriksakan gigi (berlubang) ke poli gigi di puskesmas terdekat. Di pemeriksaan pertama, aku dibantu dr. A. Beliau ramah dan memeriksa gigiku dengan seksama, memberitahu kemungkinan tindakan-tindakan yang bisa dilakukan beserta konsekuensinya, kemudian memberikan saran terbaiknya. Berdasarkan sarannya, aku memutuskan untuk menambal gigiku, walau harus kembali untuk melakukan dua atau tiga kali lagi perawatan.
Empat hari kemudian, saat melakukan perawatan kedua, aku ditangani dr. B. Aku menerima saja tindakan yang langsung diambil dr. B. Tapi, bukannya membaik, gigiku justru sakit lagi, bahkan gusiku pun bengkak. Tanpa menunggu hari yang ditentukan, aku kembali ke puskesmas.
Begitu memeriksa gigiku, dr. A menegur dr. B. Tahulah aku kalau dr. B hanya membuka sebagian tambal sementara gigiku, tidak melakukan prosedur secara layak. Entah apa alasan dr. B. Namun keteledorannya itu membuat perawatan gigiku semakin lama. Kejadian semacam itu bukan hanya aku alami sendiri. Ada beberapa pasien lain yang mengeluhkan hal yang serupa. Bukan mengeluhkan dr. A di poli gigi, melainkan dokter lain, tenaga medis lain, atau petugas di bagian (poli) lain di puskesmas.
Temanku, Y, juga mengalami hal yang mirip. Kejadiannya baru bulan lalu.
Y yang tidak tahan dengan sakit kepalanya, akhirnya mendatangi puskesmas dekat rumahnya yang berada di wilayah Surabaya Utara, di sisi berlainan dengan puskesmasku yang ada di Surabaya Selatan.
Dari hasil pemeriksaan, diketahui sakit kepala Y karena lubang besar di gerahamnya yang bengkak. Karena itu, dokter menyarankan Y ke bagian poli gigi.
Dokter di poli gigi meminta Y untuk foto (rontgen) gigi agar tahu kondisi gerahamnya, apakah masih bisa ditambal, atau harus dicabut.
Saat Y bertanya dimana ruang fotonya, dengan entengnya dokter menjawab, “Mbak foto di luar saja. Di Pramita, Prodia atau lainnya.”
“Disini tidak ada alatnya?”
“Ada, tapi masih rusak.”
“Kenapa tidak diperbaiki?”
“Iya, ini masih diperbaiki.”
“Kapan selesainya?”
“Mungkin minggu depan.”
“Jadi saya harus nunggu sampai minggu depan?”
“Kalau mbak mau menunggu ya tidak apa-apa. Tapi, kalau ingin cepat, mbak foto di luar dan bawa hasil fotonya ke sini Selasa depan.”
“Bagaimana kalau Senin saja?”
“Tidak bisa. Senin saya tidak tugas disini. Selasa saja. Dan datang sebelum jam 12 ya, Mbak.”
“Sebelum jam 12?”
“Iya, saya hanya ada sampai jam 12 saja.”
Aku bingung saat Y menceritakan pengalaman itu padaku.
Di puskesmas dekat rumahku, dari Senin hingga Sabtu, selalu ada dokter gigi yang berjaga di poli gigi. Dan mereka ada disana hingga jam 3 sore. Lalu, kenapa (poli gigi) di puskesmas lain, yang juga berada di Surabaya, tidak melakukan hal yang sama? Bukankah seharusnya mereka menerapkan prosedur yang sama?
Aku jadi membayangkan, seandainya ada orang mengalami sakit gigi yang lumayan parah di hari Senin, apa orang tersebut harus menahan sakitnya hingga keesokan hari? Karena, setahuku, peserta BPJS Kesehatan di suatu puskesmas tidak bisa pindah (mendapatkan perawatan medis) dari puskesmas lainnya. Harus membuat laporan atau permintaan pindah puskesmas terlebih dahulu ke BPJS Kesehatan (kota) setempat.
Kemudian, tentang alat (medis) yang rusak, tidak bisa digunakan.
Untung Y memiliki uang untuk melakukan foto (rontgen) gigi diluar (puskesmas), sehingga dia bisa segera membawa foto tersebut dan mendapat pelayanan medis yang dia butuhkan. Bagaimana jika pasien tidak mempunyai uang? Apakah harus menahan sakitnya hingga alat bisa dipergunakan lagi?
Karena itu, menurutku, pemerintah perlu melakukan pelatihan secara berkala terhadap tenaga medis dan non-medis di puskesmas-puskesmas atau tempat pelayanan kesehatan lain. Sehingga mereka tahu dan menjalankan prosedur yang tepat (dan sama) saat memeriksa (melayani) pasien. Dengan demikian, seluruh peserta BPJS Kesehatan di kota (besar maupun kecil) manapun, mendapatkan pelayanan yang setara. Karena tenaga medis dan non-medis di semua kota mempunyai kemampuan yang merata.
Untuk alat medis besar yang tidak mudah dibawa kemana-mana, atau diperlukan keahlian khusus untuk memperbaikinya, menjadi kendala sendiri.
Menurutku, selama ini telah melakukan cara terbaik untuk mencegah alat-alat medis semacam itu rusak, yaitu dengan melakukan perawatan berkala, mungkin juga penggantian jika memang masa pakainya melebihi umur ekonomis alat tersebut.
Namun, aku sedikit bingung memikirkan jika alat tersebut rusak dan tidak mudah mendapatkan penggantinya. Mungkinkah dibuat satu (aturan) pengecualian, dengan memberi surat ijin bagi pasien untuk menggunakan peralatan medis dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang diperlukan di puskesmas terdekat lainnya?
Entahlah. Menurutku hal itu bisa dilakukan. Tapi pemerintah dan BPJS Kesehatan selaku badan yang menangani pelayanan kesehatan, mempunyai pertimbangan tersendiri, jalan keluar lain.
Aku hanya berharap, pemerintah dan BPJS Kesehatan terus meningkatkan pelayanan kesehatan. Dengan menambah dan memperbarui peralatan medis. Terlebih lagi dengan menyetarakan kemampuan tenaga medis dan non-medis di seluruh puskesmas dan tempat pelayanan kesehatan lainnya. Dengan demikian, rakyat Indonesia, di manapun mereka tinggal, bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, memadai.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H