Mohon tunggu...
Mariani Sutanto
Mariani Sutanto Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog yang berkecimpung dalam parenting, perkembangan anak hingga remaja, dan eksplorasi diri.

Lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar (Ibu Teresa)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ruang-Ruang Terpuji Praktik Baik Merdeka Belajar

31 Mei 2023   19:56 Diperbarui: 31 Mei 2023   20:06 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Image: Pixabay/stokpic)

"Every child comes with the message that God is not yet discouraged of man."
--Rabindranath Tagore

Setiap anak adalah anak-anak tertampan dan tercantik bagi orangtuanya. Ia ditenun dari benang cinta yang tumbuh di lahan kasih sayang. Girls' Generation, girlband asal Korea, melalui lagunya "My Child" memberi kita gambaran yang menghangatkan dalam rangka semarak Merdeka Belajar,

Dengan selembar kertas putih dan pensil usang
Aku menggambar masa depan diriku dan dirimu

Aku pergi ke puncak bukit dan melihat ke bawah
Di tengah dunia yang luas aku hanya melihat dirimu


Bagaimana rasanya jika kehadiran buah hati yang ditunggu-tunggu ternyata menghadirkan segunung kecemasan? Bagaimana nelangsanya orangtua saat sang buah hati hanya merespons dengan tatapan nanar?

Sebuah lagu lain (My Child by PCCC) akan meneguhkan hati orangtuanya bahwa tidak ada yang salah di mata Sang Pencipta,

My child, you may not know me
But I know everything about you
And I'm familiar with your ways
For you were made in my image
I choose you when I plan creation
You were not a big mistake

Namun, bagaimana kelak dia akan menjalani pendidikan formal saat setiap anak dianggap "normal" dan diperlakukan dengan cara seragam? Adakah sekolah yang akan menerimanya sebagai pribadi dengan "keunikan" yang dianggap "tak lazim"?

Empat Kisah Nyata

Sejak menekuni ilmu psikologi dan berkecimpung di dunia pendidikan formal sebagai psikolog sekolah, saya mengerti bahwa setiap manusia bukanlah individu yang diproduksi massal dalam satu cetakan.

Moto "All for one and one for all" dalam kisah The Three Musketeers karya pengarang Perancis abad ke-19 Alexandre Dumas, tidak berlaku untuk semua hal. Terutama dalam semangat semarak Merdeka Belajar.

Dito yang Sindrom Down

Siang itu seorang ibu datang sambil menggendong buah hatinya yang Sindrom Down. Ia sudah membawanya ke mana-mana, tetapi tak ada sekolah yang mau menerimanya. Sekolah kami membuka tangan menyambut kehadirannya.

Meskipun sangat lekat dengan ibunya, Dito yang berusia tiga tahun tetap dibawa ibunya ke sekolah. Ketika tiba saatnya, Dito dilepaskan dari gendongan ibunya. Anak itu menangis keras seraya tangannya menggapai-gapai ke arah ibunya.

Betapa hancur hati sang ibu tatkala melihat kondisi Dito tersebut. Namun, sang ibu teguh berketetapan hati untuk "tega" melihat anaknya menangis demi mendapatkan pendidikan di sekolah.

Guru-guru memperlakukan Dito sama seperti anak lainnya. Hari pertama, Dito hanya bertahan selama 15 menit. Setelah itu, dia minta pulang.

Hari-hari lewat, guru kelas tak berputus asa. Setiap kali Dito datang, dia  diajak bermain dan bercakap-cakap dengan bahasa semi "bahasa tarzan".

Progres berlangsung, waktu Dito di dalam kelas semakin lama makin panjang, hingga ia bisa mengikuti kelas hingga selesai.
Hal yang paling menantang adalah saat Dito sedang bad mood. Semua bisa terkena sambaran tangannya. Kala hal itu terjadi, guru memberikan "pendisiplinan" kepada Dito sesuai dengan kondisinya.

Lama-kelamaan Dito pun belajar konsekuensi atas tindakannya. Dia mengenal ada hal yang baik, ada hal yang masih bisa ditolerir, dan ada hal yang tak dapat diterima sama sekali.

Pendidikan karakter di sekolah berimbas di rumah dan lingkungan di sekitarnya. Perlahan Dito mulai bisa memakai sendiri sepatunya, bisa makan sendiri, bisa memahami instruksi dari orang lain, dan bisa mematuhi peraturan yang berlaku.

Orangtua Dito sangat berterima kasih karena dengan pendidikan dan perlakuan yang diterima, Dito bertumbuh menjadi anak yang percaya diri, berani berjumpa orang banyak, dan semakin baik dalam berkomunikasi.

Darma yang Tuna Grahita

Darma tak mampu mengerjakan soal-soal ulangan yang ada di hadapannya. Ia berusaha mengingat setiap soal yang sebenarnya sudah dihapalnya, tetapi sia-sia karena tak satu pun hapalan yang mampu diingat Darma.

Hal ini kerap terjadi dan berulang, membuat Darma menarik diri dari pergaulan. Hingga suatu saat guru kelasnya mengajak Darma menemui saya selaku psikolog sekolah.

Berdasarkan asesmen, Darma memerlukan pendampingan khusus. Dia memerlukan guru pendamping untuk membuatnya memahami materi pelajaran dengan mudah.

Secara usia Darma seharusnya duduk di kelas menengah pertama. Namun secara mental dan kognitif, dia baru mencapai usia belajar di sekolah dasar. Oleh karena itu Darma belajar menggunakan kurikulum yang dimodifikasi sesuai kebutuhannya.

Darma sangat bahagia karena tak harus menguasai belasan mata pelajaran. Dia hanya perlu berkonsentrasi pada tiga mata pelajaran utama, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam. Belajarnya pun tak harus di ruangan kelas--bisa di mana saja di area sekolah.

Darma sangat gembira saat belajar Matematika. Dia diminta berbelanja di kantin. Tentu sebelumnya guru pendampingnya telah memberi tahu petugas kantin bahwa muridnya sedang belajar Matematika.

Dengan cara berbelanja di kantin, Darma jadi tahu nilai uang. Selain itu dia belajar berhitung. Secara bertahap, kemampuan berhitungnya mengalami kemajuan. Sekarang Darma tak lagi cemas bila dimintai tolong ibunya untuk berbelanja.

Dengan kurikulum modifikasi, Darma jadi bersemangat ke sekolah. Banyak pengetahuan dan keterampilan baru yang menantinya untuk dieksplorasi. 

Ilustrasi (Image: Pixabay/stokpic)
Ilustrasi (Image: Pixabay/stokpic)

Diargo yang Superior

Diargo tiba-tiba mendatangi saya yang sedang berdiri di depan pintu kelasnya. Ia tertarik dan memegang gawai di tangan saya. Dengan genggaman yang kuat, Diargo bertanya sambil tersenyum penuh kemenangan, "Google Pixel, right?"

Diargo yang superior juga mengalami gangguan Sindrom Autisme. Kegemarannya pada benda-benda elektronik membuatnya gandrung pada gawai, laptop, dan tablet. Namun karena gerakannya yang supercepat, teman-temannya sering mengira Diargo hendak merampas barang-barang mereka, padahal dia hanya ingin mengamatinya.

Kapasistas kecerdasannya yang besar membuat Diargo mampu mengikuti semua mata pelajaran dengan baik. Namun Sindrom Autisme membuatnya kesulitan berkomunikasi sehingga dibutuhkan guru pendamping khusus.

Seiring pertambahan usianya, kegemaran Diargo beralih dari barang-barang elektronik ke aransemen musik. Diargo menggunakan aplikasi untuk mengaransemen musik kesukaannya. Guru kelasnya kemudian meminta Diargo berkolaborasi dengan beberapa temannya untuk mengaransemen mars sekolah.

Meskipun Diargo sulit memahami instruksi saat masih di Sekolah Dasar, dengan bimbingan khusus dia berhasil lulus SMA dengan predikat siswa eligible mengikuti Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP). Itulah hal yang luar biasa bagi seorang penyandang Sindrom Austisme.

Perjuangannya masih panjang untuk menempuh pendidikan. Namun dengan kemajuan yang dicapainya, niscaya Diargo mampu menempuh pendidikan tinggi sesuai dengan bakat dan minatnya.

Darca yang Low Vision

Darca datang ke sekolah kami setelah orangtuanya berulang kali disarankan untuk memasukkannya ke sekolah bagi tuna netra. Ibunya tak tega Darca berada di antara teman-temannya yang memang sudah tidak mampu melihat sama sekali.

Darca diterima di sekolah kami usai melewati rekomendasi psikolog sekolah dan konsultan pendidikan luar biasa. Untuk itu, dia butuh guru pendamping khusus untuk membacakan lembar kerja siswa.

Mula-mula Darca selalu meminta guru pendamping untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Namun guru pendampingnya selalu menuntun Darca, sehingga secara bertahap Darca mau menunaikan tugasnya sendiri.  

Untuk membantu penglihatannya, Darca diminta dokter untuk memakai kaca mata teleskop. Tak mudah bagi Darca yang baru berusia lima tahun untuk taat memakai kacamata teleskop. Namun, guru pendamping membantunya mengatasi hal itu.

Bulan berganti bulan, Darca menunjukkan banyak kemajuan. Ibunya tak kuasa menahan haru saat berterima kasih kepada pihak sekolah karena telah memberi ruang kepada anaknya untuk belajar dan bersosialisasi di sekolah.

Bagi Darca, bersekolah itu menyenangkan. Sekolah adalah dunia baru yang memenuhi hari-hari riangnya. Perlahan tetapi pasti, Darca menikmati masa belajar dan masa pertemanannya di sekolah.

Berani Berkreasi, Merdeka Dalam Belajar

Keempat kisah di atas hanyalah sebagian kecil dari gelombang praktik baik semarak Merdeka Belajar di sekolah kami. Di sekolah ini setiap anak, dalam berbagai kondisi dirinya, diberikan hak untuk diterima dan belajar.

Sekolah dalam fungsinya, bukan “hanya” menyediakan sarana dan prasarana untuk mengakomodasi anak dengan kebutuhan khusus. Namun juga merancang kurikulum modifikasi sesuai kebutuhan khusus siswa.

Dengan kebebasan ini, sebagaimana disampaikan Mas Menteri Nadiem, guru kelas dan guru pendamping dapat menentukan mata pelajaran dasar yang memang harus dikuasai oleh anak berkebutuhan khusus.


Sebagai informasi, umumnya yang wajib dipelajari siswa adalah Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA, agar siswa terampil dalam kehidupan nyata.

Sejauh ini layanan akomodatif yang disediakan sekolah sangat bermanfaat bagi anak berkebutuhan khusus. Sekolah menstimulasi pendidikan karakter dan keterampilan hidup, serta menata pencapaian akademik yang diperlukannya.

Dengan memberi ruang untuk mengekspresikan diri sesuai minat dan bakatnya, siswa berkebutuhan khusus akan memiliki kepercayaan diri dan merasa setara dengan teman-temannya.

Refleksi Akhir

Menjadi pendidik memang ibarat menanam benih. Benih yang tertanam itu memerlukan perawatan sampai tunasnya bersemi. Namun bukan hanya itu, tanah di sekelilingnya pun perlu penyemaian agar menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan benih tersebut.

Masing-masing benih punya pertumbuhannya sendiri, demikian juga dengan anak didik. Masing-masing punya proses dan pergulatannnya sendiri. Itulah spirit semarak Merdeka Belajar.

Merdeka Belajar itulah yang ibarat tanah penyemaian. Dalam ruang Merdeka Belajar setiap anak menjadi mungkin untuk menerima layanan pendidikan yang secara khusus dirancang baginya.

Penerapan Merdeka Belajar butuh kemauan dan keberanian. Semakin sekolah memberi ruang, semakin banyak praktik baik bermunculan. Kita meyakini, di mana kemauan di situ pasti ada jalan.

Saya pribadi tidak bisa membayangkan apabila sekolah tanpa Merdeka Belajar. Akan ke mana perginya hak belajar untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus?

Jika Allah saja "belum" menyerah terhadap mereka, sebagaimana kutipan Rabindranath Tagore, siapakah kita yang tergesa mendahului untuk berputus asa. ()

-

*Dito, Darma, Diargo, dan Darca adalah nama-nama pengganti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun