Sudahkah Anda menonton berita tentang demo buruh hari ini? Kemungkinannya kecil ya, sebab kita masih berhadapan dengan wabah COVID19 yang melarang kita untuk berkumpul dan menyarankan untuk tetap menjaga jarak. Meskipun demikian, hal ini tidak mengurangi kekhusukan peringatan Hari Buruh Internasional.
Ya, tanggal 1 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Sejak tahun 2013, hari perayaan untuk buruh ini ditetapkan sebagai hari libur nasional di Indonesia.
Identik dengan buruh yang berdemonstrasi, hari buruh internasional memang ditujukan untuk menuntut kesejahteraan para pekerja atau buruh. Hal ini sesuai dengan resolusi dari Kongres Sosialis Dunia di Paris pada bulan Juli 1989 yang berisi: "Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Prancis."
Ditetapkannya tanggal 1 Mei sebagai hari perayaan untuk buruh tersebut bukan tanpa sebab. Tanggal tersebut dipilih sebagai peringatan akan aksi mogok besar-besaran para buruh dan keluarganya di Amerika Serikat yang berlangsung pada tanggal 1 sampai 4 Mei 1886. Aksi mogok ini diikuti lebih dari 350.000 orang dan diakhiri dengan penembakan saat demonstrasi buruh di lapangan Haymarket, Chicago, Illinois.
Aksi mogok tersebut bukan tanpa sebab. Dengan berkembangnya sistem kapitalis di Amerika Serikat, pengusaha berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan memerah tenaga para pekerjanya semaksimal mungkin. Di tahun-tahun tersebut, jam kerja para buruh mencapai 14, 16, bahkan 18 jam sehari. Tentu saja ini sudah melewati ambang batas kemampuan manusia. Tuntutan yang disuarakan saat itu pun sebenarnya sederhana saja: agar jam kerja berkurang menjadi maksimal 8 jam per hari. Bandingkan dengan tuntutan buruh saat ini! Sesuatu yang saat ini kita anggap sebagai hal yang biasa, saat itu merupakan kemewahan yang harus diperjuangkan bahkan dengan peristiwa berdarah.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sejarah hari buruh di Indonesia dimulai sedikit lebih lambat dibandingkan Amerika Serikat.
Tahun 1970-an, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suikerwet) dan Undang-undang Agraria (Agrarisch wet). Undang-undang Gula menghapus budidaya tebu dan pabrik gula yang dikelola pemerintah kolonial yang berlaku sejak tahun 1930-an atau masa tanam paksa. Sedangkan Undang-undang Agraria mengatur bahwa hanya pribumi (Bumiputera) yang berhak untuk memiliki tanah di wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Meskipun demikian, orang asing dan pihak swasta asing dapat menyewa tanah dari pribumi. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah di kemudian hari. Alih-alih menyejahterakan rakyat, kehadiran undang-undang agraria ini justru membuat rakyat kebanyakan bertambah sengsara.
Banjirnya modal asing ke Hindia-Belanda membuat penduduk pribumi tidak kuasa untuk menolak perjanjian sewa tanah yang diberikan oleh pemodal asing. Masa sewa yang panjang, dapat mencapai 75 tahun, membuat para Bumiputera pemilik tanah kehilangan akses terhadap tanah miliknya.
Salah satu penelitian yang diadakan oleh H.G. Heyting di tahun 1886 dan 1888 menunjukkan fenomena ini. Heyting menemukan bahwa tiap rumah tangga hanya tinggal memiliki tanah seluas 0,75 hektar sawah, 0,5 hektar kebun, dan 0,1 hektar tegalan. Hasil dari mengolah tanah "yang tersisa" ini sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tersebut sehingga membuat rakyat, mau tidak mau, menjadi buruh di perkebunan yang sudah dikuasai pihak swasta asing. Salah satunya adalah perkebunan tebu dan pabrik gula.
Sejarahwan Merle Rieklefs menulis bahwa di tahun 1895, produksi gula Hindia Belanda meningkat pesat. Laba dari industri ini pun meningkat dengan cara menekan biaya sewa tanah dan memotong upah pekerja. Biaya sewa tanah yang rendah, upah yang rendah, dan pajak yang tinggi benar-benar menyulitkan hidup kelas pekerja.
Melihat fenomena ini, pada tahun 1918, tepatnya 1 Mei 1918, diadakan peringatan hari buruh pertama di Indonesia (dahulu: Hindia Belanda) oleh perkumpulan Kung Tang Hwee. Ini adalah serikat pekerja yang memiliki kantor pusat di Shanghai, namun banyak anggotanya yang bertempat tinggal di Surabaya. Peringatan ini dianggap gagal oleh Sneevkiet, salah seorang pembicara, sebab yang menghadiri hanyalah mereka yang berasal dari golongan Tionghoa dan Eropa. Tidak ada Bumiputera yang nasibnya justru sedang diperjuangkan. Padahal pengumuman tentang kongres tersebut sudah dimuat jauh-jauh hari di media massa lokal.
Pada periode tahun 1919 sampai 1920 terjadi keresahan di kalangan buruh pabrik gula di Jawa terkait jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Keresahan ini berujung pada demonstrasi di tahun 1923 yang menuntut adanya kenaikan upah dan 8 jam kerja per hari oleh mereka yang tergabung dalam Personel Fabriek Bond (PFB) yang berafiliasi ke Sarekat Islam. Sebelumnya, di tahun 1921, HOS Tjokroaminoto dan muridnya: Soekarno, telah berbicara di kongres sejenis yang juga berafiliasi ke Sarekat Islam.
Peringatan Hari Buruh kembali dilakukan setahun kemudian (tahun 1924) di Semarang, Jawa Tengah. Baru pada tahun 1927, peringatan ini dilarang oleh pemerintahan Hindia Belanda karena adanya isu akan terjadi pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Saking seriusnya pemerintah kolonial Hindia-Belanda menanggapi isu tentang pemberontakan ini, petinggi PKI pun melarang anggotanya untuk melakukan peringatan Hari Buruh.
Selama pemerintahan Orde Baru, peringatan Hari Buruh dilarang karena dikhawatirkan akan menimbulkan kerusuhan dan berafiliasi ke komunisme. Baru setelah reformasi, perayaan ini dapat dilaksanakan lagi dan puncaknya dijadikan sebagai hari libur nasional di tahun 2013 oleh pemerintahan SBY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H