Melihat fenomena ini, pada tahun 1918, tepatnya 1 Mei 1918, diadakan peringatan hari buruh pertama di Indonesia (dahulu: Hindia Belanda) oleh perkumpulan Kung Tang Hwee. Ini adalah serikat pekerja yang memiliki kantor pusat di Shanghai, namun banyak anggotanya yang bertempat tinggal di Surabaya. Peringatan ini dianggap gagal oleh Sneevkiet, salah seorang pembicara, sebab yang menghadiri hanyalah mereka yang berasal dari golongan Tionghoa dan Eropa. Tidak ada Bumiputera yang nasibnya justru sedang diperjuangkan. Padahal pengumuman tentang kongres tersebut sudah dimuat jauh-jauh hari di media massa lokal.
Pada periode tahun 1919 sampai 1920 terjadi keresahan di kalangan buruh pabrik gula di Jawa terkait jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Keresahan ini berujung pada demonstrasi di tahun 1923 yang menuntut adanya kenaikan upah dan 8 jam kerja per hari oleh mereka yang tergabung dalam Personel Fabriek Bond (PFB) yang berafiliasi ke Sarekat Islam. Sebelumnya, di tahun 1921, HOS Tjokroaminoto dan muridnya: Soekarno, telah berbicara di kongres sejenis yang juga berafiliasi ke Sarekat Islam.
Peringatan Hari Buruh kembali dilakukan setahun kemudian (tahun 1924) di Semarang, Jawa Tengah. Baru pada tahun 1927, peringatan ini dilarang oleh pemerintahan Hindia Belanda karena adanya isu akan terjadi pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Saking seriusnya pemerintah kolonial Hindia-Belanda menanggapi isu tentang pemberontakan ini, petinggi PKI pun melarang anggotanya untuk melakukan peringatan Hari Buruh.
Selama pemerintahan Orde Baru, peringatan Hari Buruh dilarang karena dikhawatirkan akan menimbulkan kerusuhan dan berafiliasi ke komunisme. Baru setelah reformasi, perayaan ini dapat dilaksanakan lagi dan puncaknya dijadikan sebagai hari libur nasional di tahun 2013 oleh pemerintahan SBY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H