Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Dokter - .

Ibu empat orang anak yang menggunakan Kompasiana untuk belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

TKA China, Hari Buruh, dan Nasib Kita Semua

1 Mei 2020   18:07 Diperbarui: 1 Mei 2020   18:10 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini seorang teman membagikan video yang berisi penolakan gubernur dan DPRD Sulawesi Tenggara akan kedatangan 500 orang tenaga kerja asing (TKA) asal China. "Jempol buat gubernur dan DPRD" begitu caption yang menyertai video tersebut.

"Ah, pasti tetap masuk," komentar teman saya yang lain, "sudah merupakan bagian dari kontrak yang ditandatangani dengan pihak investor."

"Tapi tega banget, kapan wabah ini akan selesai?" Komentar teman yang lain, "rakyatnya sendiri diminta jaga jarak tapi orang dari luar malah boleh masuk."

Perdebatan yang ada dalam WhatsApp grup kami ternyata sekali tiga uang dengan berita utama yang beredar di media massa. Terdapat kekhawatiran masyarakat jika tenaga kerja asing ke wilayah Indonesia di saat pandemi COVID19 masih berlangsung. Isu ini lebih menarik lagi sebab dibahas pada tanggal 1 Mei diperingati sebagai hari buruh sedunia.

Bukan hanya masalah virus corona baru yang masih harus dihadapi oleh kita semua namun juga masalah bahwa masih banyak warga negara Indonesia (WNI) yang membutuhkan pekerjaan. Kesannya pemerintah kita terlalu lemah terhadap permintaan investor asal China yang ingin menggunakan tenaga kerja dari negara tirai bambu tersebut.

Sebelum saya melanjutkan tulisan ini, saya ingin memberikan peringatan bahwa posisi saya saat ini adalah netral, tidak mendukung maupun menolak dan tulisan ini adalah bersifat opini semata. Ada sebuah analogi yang dapat saya tawarkan dalam memahami masalah ini.

Saat ini, saya menempati rumah milik mertua yang biasanya disewakan. Rumah ini baru diperbaiki sebelum kami tinggali. Masalahnya, kualitas tukang di daerah kami cukup menggelisahkan.

Kondisi rumah kami cukup mengesalkan: lantai kamar mandi rata sehingga air tidak dapat mengalir ke saluran pembuangan. Dapur miring ke arah bawah kompor yang berlawanan arah dengan saluran air. Teras miring ke arah dalam rumah. Teras bagian belakang rumah yang agak mirip dengan gang memiliki saluran air di sebelah timur tapi lantainya miring ke barat.

Bayangkan bagaimana kesalnya tinggal di rumah yang dikerjakan asal-asalan kaya gitu. Apalagi saya yang memang dasarnya agak cerewet. Gedeg.

Padahal saya tinggal menempati rumah tersebut, tidak perlu membayar sewa, dan yang jelas tidak mengeluarkan uang untuk biaya renovasi rumah yang berkisar di atas 100 juta.

Saking kesalnya saya sampai mengajukan pada suami, "nanti kalau kita bikin rumah sendiri, kita bawa tukang dari Jawa aja!"

Setidaknya di Jawa orang tua saya mengenal tukang yang cukup terampil. Meskipun harus mengeluarkan biaya ekstra untuk tiket naik pesawat dan pengiriman alat pertukangan, saya melihat hal itu tidak masalah.

Selain itu saya juga memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai arsitek. Mereka memiliki usaha bersama dan menerima pengerjaan rumah sampai berdiri, bukan hanya mendesain. Teman-teman saya pasti senang memperoleh pekerjaan tersebut.

Nah ... Dengan analogi sederhana ini, saya jadi paham kenapa sih masih aja ada TKA asal Cina. Ini hal yang menyebalkan tapi mungkin ada benarnya.

Mungkin saja, mungkin lho ... kualitas buruh kita masih di bawah standar: kerja santai-santai tapi minta gaji besar, fasilitas baik, dll.

Kemarin sempat ada berita yang mengatakan bahwa rencananya akan ada demo serikat buruh di May Day ini dengan tuntutan selama pandemi corona buruh diliburkan namun gaji dan THR tetap utuh bukan? Untungnya rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan.  

Seandainya saya adalah seorang pengusaha (apalagi saya pengusaha yang berasal dari Cina), mungkin aja kan saya kesal terus bilang "Kita bawa buruh dari Cina!"

Istilahnya regulasi dibuat susah pun gue jabanin, (daripada enek). Gitu sih kayanya.

Pemerintah bukannya meloloskan permintaan penanam modal dari RRC dengan mudah. Mereka tentu membuat banyak regulasi yang tujuannya satu: mempersulit pengusaha membawa tenaga kerja asing dari negara asalnya. Namun jika pengusahanya sudah berkehendak, ia tinggal menyetujui semua regulasi yang dibuat dan mendapatkan apa yang diinginkannya.

"Kamu kok gitu sih? Tega sama bangsa sendiri ..."

Sebelum ada yang berkomentar demikian, saya ingin mengatakan bahwa ancaman dari tenaga kerja asing bukan hanya milik mereka yang berkerah biru.

Dapat dikatakan kualitas SDM kita memang masih kalah dibandingkan China Ini bukan pernyataan Pro China atau pernyataan pesimistik, namun sesuai dengan realita.

Kita lihat sendiri bahwa Cina telah berubah dari negara yang memproduksi barang berharga murah namun kualitasnya mengenaskan (baru dibeli langsung rusak) menjadi negara penghasil barang berkualitas bagus dengan harga murah.

Suami saya pernah membeli sepatu kulit dari Cina dan sepatu tersebut berkualitas sangat bagus dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan produksi lokal.

Atau coba kita lihat di sektor kesehatan. Mata seluruh dunia tertuju kecilnya di awal masa wabah corona. Saya sendiri belum sanggup bekerja seperti dokter-dokter Cina di Wuhan.

Para dokter dan tenaga medis di Wuhan praktis tinggal di rumah sakit sejak awal dinyatakan wabah sampai berakhir dengan etos kerja yang tidak main-main.

Jadi jika suatu saat ada pengusaha yang ingin memboyong tenaga medis dari Cina, mungkin saya termasuk orang yang tergantikan oleh TKA (tapi saya lebih takut digantikan oleh Artificial Intelegence sih, sebab perkembangan AI sudah mulai mengarah ke sektor kesehatan).

Apa pesan dari tulisan ini? Tingkatkan kompetensi kita. Tingkatan atau kita akan ditinggalkan. Tingkatkan atau kita akan digantikan oleh tenaga kerja asing atau oleh kecerdasan buatan. Buat diri kita memiliki nilai lebih bagi perusahaan, penanam modal, negara, dan masyarakat kita sendiri. Jangan sampai nilai lebih kita hanya sebatas "lokal" dan "tidak perlu didatangkan dari jauh".

Semangat dan selamat Hari Buruh 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun