Setidaknya di Jawa orang tua saya mengenal tukang yang cukup terampil. Meskipun harus mengeluarkan biaya ekstra untuk tiket naik pesawat dan pengiriman alat pertukangan, saya melihat hal itu tidak masalah.
Selain itu saya juga memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai arsitek. Mereka memiliki usaha bersama dan menerima pengerjaan rumah sampai berdiri, bukan hanya mendesain. Teman-teman saya pasti senang memperoleh pekerjaan tersebut.
Nah ... Dengan analogi sederhana ini, saya jadi paham kenapa sih masih aja ada TKA asal Cina. Ini hal yang menyebalkan tapi mungkin ada benarnya.
Mungkin saja, mungkin lho ... kualitas buruh kita masih di bawah standar: kerja santai-santai tapi minta gaji besar, fasilitas baik, dll.
Kemarin sempat ada berita yang mengatakan bahwa rencananya akan ada demo serikat buruh di May Day ini dengan tuntutan selama pandemi corona buruh diliburkan namun gaji dan THR tetap utuh bukan? Untungnya rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan. Â
Seandainya saya adalah seorang pengusaha (apalagi saya pengusaha yang berasal dari Cina), mungkin aja kan saya kesal terus bilang "Kita bawa buruh dari Cina!"
Istilahnya regulasi dibuat susah pun gue jabanin, (daripada enek). Gitu sih kayanya.
Pemerintah bukannya meloloskan permintaan penanam modal dari RRC dengan mudah. Mereka tentu membuat banyak regulasi yang tujuannya satu: mempersulit pengusaha membawa tenaga kerja asing dari negara asalnya. Namun jika pengusahanya sudah berkehendak, ia tinggal menyetujui semua regulasi yang dibuat dan mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Kamu kok gitu sih? Tega sama bangsa sendiri ..."
Sebelum ada yang berkomentar demikian, saya ingin mengatakan bahwa ancaman dari tenaga kerja asing bukan hanya milik mereka yang berkerah biru.
Dapat dikatakan kualitas SDM kita memang masih kalah dibandingkan China Ini bukan pernyataan Pro China atau pernyataan pesimistik, namun sesuai dengan realita.