Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Dokter - .

Ibu empat orang anak yang menggunakan Kompasiana untuk belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alasan Dokter dan Profesional Lain Harus Menulis

1 November 2018   13:43 Diperbarui: 5 November 2018   04:06 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: lammico.com

Tulisan ini sudah lama saya endapkan dalam pikiran dan baru "sempat" sekarang untuk ditulis. Kemungkinan tulisan ini juga mewakili suara hati teman-teman lain di Kompasiana. Tulisan yang membahas salah satu alasan mengapa harus menulis. Salah satu alasan sebab tentu ada berjuta alasan kita menulis di Kompasiana.

Waktu saya masih kuliah, salah satu guru saya mengatakan pada saya bahwa ibu dari pasien yang sedang kami rawat di PICU (Pediatric Intensif Care Unit, sebangsa ICU untuk anak) memiliki stok ASI yang tidak terpakai. 

Kebetulan saat itu pasien yang dimaksud masih berusia kurang dari 6 bulan. Aneh bukan? Stok ASI yang tidak terpakai, padahal anaknya masih dalam periode pemberian ASI eksklusif dan kami akan tetap memberikan ASI jika kondisi pasien memungkinkan.

Ternyata sang ibu ini memompa ASI-nya seperti trend ibu-ibu jaman now. "Jadi saat ini ibu-ibu yang tidak bekerja pun ikut pumping ASI Kris." Begitu kata guru saya. Saya hanya manggut-manggut, baru tahu akan trend tersebut.

"Tapi mengapa ia tidak mau memberikan ASI-nya pada anaknya Dok?" akhirnya saya mengungkapkan keheranan saya.

"Itu dia yang lucu. Menurutnya, ASI itu dibuat sesuai dengan kondisi bayi. ASI sesuai dengan kondisi bayi saat itu, jadi jika sudah disimpan sudah bukan saat itu dan tidak bisa dipakai lagi."

Saya hanya bisa memutar mata mendengar alasan tersebut. "Ibu itu dapat informasi dari mana?"

"Dari blog."

Nah. Ini dia akar masalahnya.

Blog (dan media sosial lainya) sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat kita. Banyak yang bergantung pada pencarian di internet untuk menjawab pertanyaan yang timbul dalam pikirannya. Kalau ada blog yang penulisannya enak dan kebetulan penulisnya ramah pun pasti akan saya ikuti. Permasalahannya: apakah penulisnya benar-benar kompeten dalam hal itu?

Pernyataan sang ibu pasien bahwa "ASI dibuat sesuai dengan kebutuhan bayi" itu memang benar. Seperti ASI dari ibu bayi premature akan berbeda komposisinya dari ibu yang bayinya cukup bulan, itu salah satu contohnya. 

Tapi pengertian bahwa "ASI yang sudah disimpan tidak cocok lagi diberikan pada bayi karena harus saidek saenyet (saat itu juga dilakukan / diberikan)" ini yang entah datangnya dari mana. Bisa penulis blog-nya yang salah menuliskan atau pemahaman ibu ini yang salah. Entahlah.

Saya pun pernah merasa frustasi ketika mulai memberikan MP-ASI untuk anak pertama saya. Seperti ibu-ibu kekinian lainnya, saya mencari resep MP-ASI di cookpad. Tahu kan? Aplikasi tukar-tukaran resep. Betapa kecewanya saya membaca kebanyakan resep itu hanya berupa buah yang dihancurkan. Yang terbaca adalah: puree labu kuning, puree apel, dan puree puree lainnya. Sesuatu banget. 

Ada juga yang menyatakan bahwa puree artinya adalah pure (itu thok), padahal puree itu kan artinya kurang-lebih sama dengan bubur. Lha kalau bayi hanya diberi MP-ASI berupa buah yang isinya karbohidrat dan serat thok, bagaimana dia mau tumbuh? Lha wong syarat MP-ASI itu padat gizi kok dan minimal 20% energinya berasal dari lemak.

Di sini saya mulai merasa sedih, juga sedikit merasa bersalah. Kalau orang-orang yang sudah belajar "Ilmu yang bener" mau berbagi sedikiiit ... saja dari ilmunya, mungkin banyak ibu (dan orang lainnya) yang tidak tersesat. 

Kalau dokter mau berbagi tentang preventive medicine, mungkin banyak penyakit yang bisa dihindarkan (dan dana BPJS tidak minus terus). Kalau banyak ahli ekonomi mau berbagi tentang pengertian investasi, mungkin banyak orang yang tidak tertipu investasi bodong. Dan sebagainya dan sebagainya.

Sudah, sekian dulu "curhat" dari saya. Semoga ke depannya saya bisa mempersembahkan artikel-artikel yang lebih informatif dan bermanfaat bagi khalayak ramai. Semoga Kompasianer lainnya pun demikian. Semangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun