Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Blank Spot Bernama Perubahan Iklim

14 November 2024   21:18 Diperbarui: 15 November 2024   21:05 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat masih menjabat sebagai  Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini pernah membuat kebijakan yang "menggelikan", yaitu membuat peraturan membayar tiket Bus Suroboyo dengan sampah plastik.

"Bagi penumpang yang akan naik harus membawa 5 botol ukuran tanggung, 3 botol besar, 10 gelas air mineral, kantong plastik (kresek) dan kemasan plastik," kata Risma kala launching bus berfasilitas modern milik Pemerintah Kota Surabaya tersebut, Sabtu (7/4/2018). (sumber)

Mengapa "menggelikan"?

Karena alih-alih mengurangi sampah, peraturan yang dibuat Risma berpotensi memproduksi sampah lebih banyak lagi. Calon penumpang akan menyengaja beli produk dengan kemasan yang sesuai dengan aturan yang dibuat Risma.

Kondisi inilah yang dimaksud sebagai blank spot pada judul tulisan ini. 

Daftar Isi:

  • Blank Spot dalam Kasus Krisis Iklim
  • Krisis Iklim dan  FOMO
  • Mengisi Blank Spot

Mengapa perubahan iklim disamakan dengan kondisi Blank Spot?

Karena ada kekosongan antara ancaman perubahan iklim dengan perilaku manusia dalam mengatasinya.

Seperti kasus Walikota Risma yang mengeluarkan peraturan mengumpulkan sampah. Jika paham ancaman krisis iklim, maka Ibu Risma akan mengeluarkan peraturan mengurangi sampah sesuai hierarkinya, yaitu "Reduce" dari Reduce, Reuse, Recycle (3R)

Recycle merupakan pintu darurat ketika reduce dan reuse telah dilakukan. Pintasan recycle yang dilakukan Ibu Risma malah memperparah keadaan, sebab proses recycle harus menggunakan sumber daya alam yang hingga kini masih menggunakan energi fosil.

Aktif dalam komunitas pengelola sampah, dan pernah melakukan survey untuk  Bebas Sampah ID, suatu platform persampahan nasional, saya jadi paham beberapa langkah recycle yang malah menyebabkan gas rumah kaca (GRK):

1. Pemakaian bahan bakar fosil dalam pengangkutan sampah. Seperti kita ketahui pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan GRK, yaitu karbon dioksida dan metana, yang memerangkap panas di atmosfer.

2. Sebelum proses recycle, limbah botol kemasan air mineral akan dipisah antara tutup, botol dan labelnya. Tutup botol berbeda jenis plastiknya dengan botol dan label plastiknya. Nah, hanya limbah botol yang masuk pabrik daur ulang. Sedangkan tutup botol dan label kemasan berakhir di tempat pembuangan sampah akhir atau dibakar

Mengapa? Ukuran tutup botol terlalu kecil dan label kemasan mengandung tinta, sehingga biaya prosesnya terlalu tinggi. Kurang cuan atau malah rugi, jika harus memproses limbah tutup serta label kemasan.

3. Botol kemasan didaur pulang (dicacah dan seterusnya) di mesin yang menggunakan bahan bakar fosil.

Dari penjelasan di atas, bisa kita lihat perjalanan botol air mineral yang alih-alih mengurangi krisis iklim, eh malah menambah GRK penyebab pemanasan global.

Ngenesnya, masyarakat yang menaati peraturan Ibu Risma bakal berkeyakinan bahwa dia telah berkontribusi mengurangi ancaman perubahan iklim.

Mereka tak menyadari telah berjalan ke arah yang berlawanan. Analoginya, mereka mau ke Kanada di benua Amerika, namun pesawat yang difasilitasi pemerintah membawa mereka ke Prancis di benua Eropa.

ilustrasi Canva
ilustrasi Canva

Perubahan Iklim dan  FOMO

FOMO merupakan singkatan dari Fear of Missing Out yang artinya rasa takut ketinggalan atau kehilangan momen, informasi, atau pengalaman.

Akibat FOMO, masyarakat menggunakan symbol-simbol perubahan iklim tanpa memahami terlebih mengambil langkah antisipasi.

Salah satu contohnya adalah cendera mata yang kerap dibagikan di pesta pernikahan, seminar, dan lainnya, yaitu barang yang menyimbolkan kontribusi terhadap perubahan iklim, seperti tumbler, reusable bag (tas pakai ulang) dan semacam itu.

Namun, bagaimana perlakuan penerima sesampainya di rumah? Apakah memakainya untuk aktivitas sehari-hari atau hanya menumpuknya?

Nampaknya opsi kedualah yang terjadi. Sangat jarang saya melihat orang menggunakan tumbler (tolong komen jika Anda telah menggunakannya dengan benar ^^ )

Demikian juga dengan reusable bag. Kecuali konsumen Superindo yang tegas menerapkan kantong plastik berbayar, konsumen retail modern lain nya, terlebih retail tradisional, masih setia pada kantong plastik sekali pakai.

Penyebabnya masyarakat belum memahami perubahan iklim dengan benar. Paling jauh, mereka melihat film-nya Al Gore tentang mencairnya es di kutub yang berpotensi mengakibatkan Jakarta ternggelam.

Tapi, apakah mereka menyadari bahwa perubahan iklim menyebabkan harga pangan yang melambung tinggi, bahkan Indonesia pernah mengalami kelangkaan beras, serta masyarakat yang harus mengantri minyak goreng, serta harga cabai rawit yang melonjak hingga mencapai Rp 120.000/kg?

Juga, apakah mereka mengetahui bahwa masyarakat miskin perkotaan mengalami krisis air? Penelitian yang dilakukan Zaki Yamani, dan dibukukan dalam "Kehausan di Ladang Air" menyebutkan bahwa 30 persen pemasukan masyarakat perkotaan digunakan untuk membeli air.

sumber:maria-g-soemitro.com
sumber:maria-g-soemitro.com

Mengisi Blank Spot

Salah seorang narasumber Danone Blogger Academy pernah bilang: "Masyarakat tidak melihat, karena itu mereka tidak peduli."

Saya sangat setuju pernyataan tersebut. Ada blank spot antara kenyataan perubahan iklim dengan pemahaman masyarakat yang akan mengalami dampaknya.

Masyarakat tidak paham, diperparah kebijakan pemerintah yang alih-alih menyosialisasikan dampak perubahan iklim, malah menjauhkan, atau justru menyesatkan.

Seperti yang dilakukan Ibu Risma sewaktu masih menjabat sebagai walikota Surabaya. Apabila dia paham dan menyosialisasikan perubahan iklim dengan benar, seharusnya dia membuat peraturan seputar gerakan Reduce, seperti wajib membawa tumbler, atau reusable bag (tas pakai ulang), lunch box, serta peralatan lain yang menandakan pemiliknya telah menerapkan reduce.

Apalagi jika Ibu Risma mau membuat peraturan pemilahan sampah serta langkah-langkah yang dilakukan zero waste city, maka tambah cakep deh gebrakannya.

Tapi sudahlah, Ibu Risma hanya membeo kebijakan pemerintah Jokowi  yang bermimpi membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di beberapa kota , yang bakal membawa Indonesia semakin terjerat salah kaprah perubahan iklim.

Sebagai anggota masyarakat, tentu saja kita tak bisa terus-terusan menyalahkan pemerintah, karena bakal mirip tragedy: "Saya membuang sampah sembarangan, karena orang lain melakukannya".

Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan untuk mengisi blank spot.

Belajarlah dengan Benar

Terdengar sadis ya?  

Ada alasannya, saya pernah melihat pengguna Instagram mengunggah foto cairan mikroorganisme lokal (MOL) yang katanya berguna untuk memutihkan baju.

What?

Anehnya dia juga mengatakan bahwa MOL memiliki banyak manfaat, tapi gak menyebutkan fungsi utamanya, yaitu untuk menyuburkan tanah! Ya seperti kita ketahui, sampah brangkal, cor-an semen dan lainnya, membuat tanah di perkotaan menjadi tidak sehat.

MOl diciptakan untuk menyehatkan tanah dan mempercepat proses composting.

Bergeraklah

Bergerak untuk mengatasi perubahan iklim harus dilakukan seluruh penduduk bumi, tanpa terkecuali. Karena perubahan iklim itu nyata dan sebagai mahluk bernalar kita harus menggunakan nalar tersebut untuk mengatasi ancaman yang berlangsung di depan mata.

Untuk mengatasi ancaman perubahan iklim, bergeraklah dengan 3 M, yaitu mulai dari diri sendiri, mulai dari yang termudah, dan mulai hari ini.

Jangan lupa selalu membawa tumbler dan reusable bag ketika bepergian. Gunakan lunch box kedap udara untuk jajan cimol/seblak/bakso, dan seterusnya.

Berdengunglah

Pastinya punya ponsel kan? Gunakan untuk "berdengung" di media sosial seperti menulis status sekaligus memasang foto sedang mengompos di rumah, sedang minum menggunakan tumbler, dan lainnya.

Andai punya blog, menulislah tentang perubahan iklim, ancaman-ancamannya, serta apa pun terkait perubahan iklim.

Gak usah peduli andai gak ada yang membaca tulisan, atau gak ada yang nge-like status di media sosial. Karena kita yakin bahwa perubahan iklim itu nyata, dan kita gak mau meninggalkan bumi yang semakin rusak akibat ulah kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun