Akibat FOMO, masyarakat menggunakan symbol-simbol perubahan iklim tanpa memahami terlebih mengambil langkah antisipasi.
Salah satu contohnya adalah cendera mata yang kerap dibagikan di pesta pernikahan, seminar, dan lainnya, yaitu barang yang menyimbolkan kontribusi terhadap perubahan iklim, seperti tumbler, reusable bag (tas pakai ulang) dan semacam itu.
Namun, bagaimana perlakuan penerima sesampainya di rumah? Apakah memakainya untuk aktivitas sehari-hari atau hanya menumpuknya?
Nampaknya opsi kedualah yang terjadi. Sangat jarang saya melihat orang menggunakan tumbler (tolong komen jika Anda telah menggunakannya dengan benar ^^ )
Demikian juga dengan reusable bag. Kecuali konsumen Superindo yang tegas menerapkan kantong plastik berbayar, konsumen retail modern lain nya, terlebih retail tradisional, masih setia pada kantong plastik sekali pakai.
Penyebabnya masyarakat belum memahami perubahan iklim dengan benar. Paling jauh, mereka melihat film-nya Al Gore tentang mencairnya es di kutub yang berpotensi mengakibatkan Jakarta ternggelam.
Tapi, apakah mereka menyadari bahwa perubahan iklim menyebabkan harga pangan yang melambung tinggi, bahkan Indonesia pernah mengalami kelangkaan beras, serta masyarakat yang harus mengantri minyak goreng, serta harga cabai rawit yang melonjak hingga mencapai Rp 120.000/kg?
Juga, apakah mereka mengetahui bahwa masyarakat miskin perkotaan mengalami krisis air? Penelitian yang dilakukan Zaki Yamani, dan dibukukan dalam "Kehausan di Ladang Air" menyebutkan bahwa 30 persen pemasukan masyarakat perkotaan digunakan untuk membeli air.
Mengisi Blank Spot
Salah seorang narasumber Danone Blogger Academy pernah bilang: "Masyarakat tidak melihat, karena itu mereka tidak peduli."