"Buat apa bu? Mereka mah gak seperti kita, ngemis aja pasti dapat banyak uang," kata pelatih yang saya hubungi kala hendak membuat workshop, beberapa tahun silam. "Mereka" yang dimaksudkannya adalah teman-teman penyandang disabilitas yang rencananya akan menjadi salah satu peserta workshop.
Ucapan sang pelatih membuat saya mengernyitkan dahi. Kok serendah itu anggapannya tentang warga disabilitas? Apakah sebagian besar masyarakat berpendapat sama? Apakah dia masih akan berpendapat seperti itu jika suatu peristiwa membuatnya menjadi penyandang disabilitas?
Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab tersebut kembali muncul, ketika saya bertemu dengan Farhan Helmy, warga disabilitas yang semula adalah warga non disabilitas.
Terpanggil untuk membuat perubahan, bersama 18 orang (warga disabilitas dan non disabilitas) Farhan membangun organisasi nirlaba DILANS (DIsabilitas LANjut uSia), dan menjadi Presiden Pergerakan DILANS.
Lansia menjadi bagian dari DILANS karena termasuk kelompok masyarakat rentan. Mereka tidak lagi bisa berlompatan di atas trotoar yang terjal, serta kerap bingung menjejakkan kaki di antara PKL dan penghijauan yang memenuhi bahu jalan.
Daftar Isi
Menyongsong Perubahan Bersama DILANS
Selusur Sumur Bandung dalam Inklusi Sosial
- Bandung Lautan Sampah
- Trotoar yang Pongah
- Surga pun Menolak Kami
- Penghijauan Salah Kaprah
- PKL "Demi Sesuap Nasi"
Haruskah Warga Disabilitas Menggugat?