Mmm......masih gak paham, nih.
Baik, begini ceritanya. Ecobrick konon ditemukan oleh Rusel Maier seorang seniman Kanada di Filipina. Dibuat dari botol bekas air mineral yang diiisi sampah plastic, ecobrick biasanya disusun meja, kursi, dan dinding suatu bangunan.
Aktivitas membuat ecobrick nampak mengasyikan, namun membuat masyarakat terlena. Mereka lupa, masalah sampah tak teratasi dengan ecobrick.
Apa Salah Ecobrick?
Andai ada kasus: Masyarakat di suatu kawasan kelaparan. Namun alih-alih mengirim makanan bergizi, pemerintah malah menyiapkan makanan/minuman manis, maka apa yang akan terjadi?
Dalam sekejap mereka akan merasa kenyang bukan? Namun sesudah itu rasa lapar akan menjadi-jadi. Mereka akan terus-terusan mencari makanan/minuman manis.
Peristiwa tersebut tak akan terjadi apabila sejak awal mereka mengonsumsi nasi dan lauk pauk bergizi serta segelas air putih.
Kurang lebih demikian analogi keberadaan aktivitas ecobrick. Apabila dirangkum, berikut ini beberapa penyimpangan ecobrick yang bertentangan dengan tujuan Indonesia Bebas Sampah.
1. Salah Nama
Sejak awal penamaan 'ecobrick' telah salah. "Brick' artinya bata, sedangkan 'eco' berasal dari bahasa Yunani oikos (tempat hidup) yang dikemudian hari digunakan untuk membahas mahluk hidup dan lingkungannya. Sementara kita tahu, bahan baku ecobrick bukanlah mahluk hidup.
Jadi, mengapa menggunakan kata "ecobrick"? Entahlah, mungkin karena penemunya seorang seniman, bukan ilmuwan di bidang lingkungan hidup.