Denny Siregar berceloteh di channel Cokro TV.
Isinya tentang keberpihakan pada pembangunan Waduk Bener di Desa Wadas. Tentang betapa pentingnya pembangunan waduk agar Indonesia tak lagi impor beras. (sumber)
Celoteh yang menggelikan sekaligus menyesatkan!
Di era orde baru, Indonesia pernah mengalami masa keemasan swasembada beras, bahkan mengekspor beras hingga mendapat penghargaan dari FAO pada 1985. Jika pembangunan waduk merupakan syarat keberhasilan swasembada beras (gak impor beras), seharusnya Indonesia gak perlu membangun waduk lagi dong ya?
Daftar Isi:
- Gak Nyambungnya Swasembada Beras dan Pembangunan Waduk
- Dampak Lingkungan Pembangunan Waduk
- Mari Berkenalan dengan SRI
- Bukan Waduk Melainkan Penambangan Andesit?Â
Nyatanya swasembada beras (1984-1988) merupakan hasil intensifikasi pertanian. Salah satunya dengan pembagian bibit dan pupuk pada para petani, sehingga petani bisa memanen 3 kali setahun, setelah sebelumnya hanya 1-2 kali setahun.
Apa yang terjadi setelah swasembada beras?
Indonesia impor beras lagi! Keberhasilan swasembada beras tidak berkelanjutan. Banyak penyebabnya, sebagian pakar berpendapat (sumber), alih-alih swasembada beras, Indonesia seharusnya swasembada pangan melalui diversifikasi pangan.
Ahli lainnya memberi saran, anggaran swasembada beras yang besarnya bukan main, lebih baik digunakan untuk meningkatkan pendapatan, sebab selama swasembada beras, golongan penghasilan rendah tetap kesulitan membeli beras.
Dengan kata lain, sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai pengalaman swasembada beras. Indonesia juga kaya akan pakar, mulai dari pakar keuangan, pakar pertanian, pakar sosial, pakar budaya, pakar lingkungan serta pakar terkait swasembada beras lainnya.
Tapi, aneh! Puluhan tahun berlalu, pengalaman dan kontribusi para pakar tersebut tidak digunakan untuk menata sektor pertanian. Pemerintah masih menggunakan cara jadul, cara pra swasembada beras, era ketika 'lingkungan hidup yang berkelanjutan' belum dipahami, apalagi dipraktikkan.
Indonesia seharusnya menerapkan konsep circular economy sesuai komitmen Sustainable Development Goals (SDGs) untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
Dampak Lingkungan Pembangunan Waduk
Pembangunan waduk jelas mengkhianati komitmen SDGs, karena akan berdampak langsung terhadap sifat biologis, kimia, fisik sungai dan lingkungan tepian sungai. (sumber) Paling tidak meliputi 5 aspek, yaitu:
Daya dukung dan daya tampung baik setempat maupun secara kawasan wilayah.
Bendungan akan menjebak sedimen yang sangat penting untuk mempertahankan proses fisik dan habitat di hilir bendungan. Ketika sungai kehilangan beban sedimennya, sungai melakukan keseimbangan dengan mengikis dasar sungai dan tepian hilir, yang mengakibatkan kerusakan jembatan, struktur tepi sungai, serta hutan tepi sungai.
Dalam dekade pertama pembangunan waduk, dasar sungai di hilir waduk biasanya terkikis beberapa meter. Kerusakannya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan kilometer di bawah bendungan.
Rusaknya keanekaragaman hayati.
Ribuan pohon (flora) akan musnah, demikian pula fauna seperti monyet dan ular. Dinding bendungan juga menghalangi migrasi ikan dan beberapa spesies air lainnya. Mereka terpisah dari  habitat pemijahan dan dari habitat pemeliharaan.
Kerusakan ekosistem
Perubahan suhu, komposisi kimia, kadar oksigen terlarut dan sifat fisik air waduk seringkali tidak sesuai dengan tumbuhan dan hewan air yang berevolusi dengan sistem sungai tertentu. Terlebih ketika kemudian muncul usaha perikanan yang sering menampung spesies non-asli dan invasif yang bakal semakin merusak komunitas tumbuhan dan hewan alami sungai.
Efisiensi pemanfaatan sumber daya alamÂ
Dalam bukunya ' Biodiversity a Third World Perspecteve, ahli filsafat dan fisika Dr Vandana Syiva mengungkapkan dampak negative pembangunan waduk, diantaranya lenyapnya ribuan atau mungkin jutaan spesies flora dan fauna, yang sebagian besar belum terdeteksi dan terinventarisasi.
Berarti hilang pula spesies yang berpotensi mengandung obat-obatan, bahan pengembangan pangan, sumber ilmu pengetahuan, dan lain-lain yang sangat berguna untuk menopang perkembangan peradaban.
Berdampak pada perubahan iklim.
Keberadaan waduk dengan menghancurkan kawasan yang memiliki keaneka ragaman hayati berkontribusi hingga seperempat proses pemanasan global karena gas metan dan karbondioksida yang dihasilkan.
Sebuah studi mengungkapkan sebagian besar waduk, terutama di daerah tropis merupakan kontributor signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) yang setara  dengan industri penerbangan, atau sekitar 4% dari emisi GRK yang disebabkan oleh manusia.
Mari Berkenalan dengan SRI
Jadi gimana dong? Pertanian kan membutuhkan pembangunan waduk. Â
Jika Anda masih berpendapat demikian, berarti piknik Anda kurang jauh .... ^^ Berbagai inovasi pertanian khususnya pertanian padi telah ditemukan. Tanaman padi tak lagi harus direndam air seperti yang dilakukan petani konvensional.
Salah satunya adalah System of Rice Intensification (SRI). Dengan SRI siapapun bisa menjadi petani. Cukup menyediakan pot/polybag, benih padi dan media, tanaman padi bisa ditanam di pekarangan rumah atau malah di loteng rumah.
Kisah SRI sebetulnya bukan sesuatu yang baru. Institut Teknologi Bandung (ITB), Â saat menggelar 'Pasar Seni ITB 2010' pernah menyulap halaman parkir timur menjadi sawah yang ditanam dengan cara SRI.
Bagaimana hasilnya?
Mengutip sumber, Wakil Forum Komunitas Petani System Rice Intensification (SRI) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum Anang Maghfur yang juga menjadi pembimbing penanaman padi mengungkapkan, 'sawah dadakan' yang dimiliki ITB tersebut menghasilkan 120 kg gabah kering pungut. Setelah digiling turun 30 % atau cukup untuk konsumsi 100 orang.
Surprise ya?
Apabila para mahasiswa yang aktivitas hariannya berkutat dengan diktat, ternyata bisa menanam padi dengan cara SRI, apalagi petani bukan?
Semula memiliki singkatan "systeme de riziculture intensive", SRI dikembangkan  oleh pastor sekaligus agrikulturis Perancis, Fr. Henri de Laulanie,  pada 1980 yang  sedang mendapat penugasan di Madagaskar.
SRI muncul pertama kalinya di jurnal Tropicultura tahun 1993. Setelah itu bak tak terbendung SRI mulai mendunia, sebagai hasil usaha tidak pantang menyerah Prof. Norman Uphoff, mantan direktur Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development (CIIFAD).
Bersama 25 negara lainnya, Indonesia mulai menguji SRI pada tahun 1999 dan menghasilkan panen sekitar 7-10 ton/hektar.
Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) menjadi salah satu lembaga yang aktif menguji coba dan memperkenalkan SRI pada petani Jawa Barat.
Jika Anda tertarik menanam padi sendiri, bisa banget mengikuti caranya:
- Siapkan polybag, benih dan media tanah.
- Lakukan persemaian, pada usia 7 -14 hari setelah semai, pindahkan satu bibit per lubang/per polybag. Beri jarak 30 cm x 30 cm pada penerapan SRI di sawah.
- Siram dengan air pada pagi dan sore hari. Untuk penanaman padi SRI di sawah lakukan pemberian air irigasi terputus-putus tanpa penggenangan di petak sawah.
- Sebisa mungkin gunakan pupuk organik dan pestisida organik.
Pak Supardiyono Sobirin, pakar DPKLTS memberi penjelasan tentang keunggulan metode SRI sebagai berikut:
- Hemat air karena tak perlu merendamnya dalam kubangan air. Cara konvensional tersebut sangat merugikan, bibit padi rentan rusak, sehingga petani harus menanam banyak bibit dalam satu lubang. Hasil padi juga tidak maksimal karena sebagian energi digunakan oleh akar tanaman padi agar bisa mencengkram tanah yang tergenang air.
- Hemat biaya. Karena hanya menanam 1 bibit pada 1 lubang, metode SRI hanya membutuhkan 5 kg benih/ha. Hemat biaya juga terjadi dengan hilangnya biaya pencabutan bibit, biaya pindah bibit serta biaya-biaya lain yang yang timbul dalam pertanian konvensional.
- Hemat waktu. Selain penanaman pada usia 7 -14 hari setelah semai, tanaman padi dengan metode SRI mempunyai  waktu panen lebih awal.
- Produksi meningkat, di beberapa tempat bisa mencapai 11 ton/ha. Hal ini terkait penjelasan nomor 1, energi tanaman padi metode SRI tidak tercurah pada akar yang harus hidup dalam genangan air. Cara penanaman satu lubang satu bibit, juga membantu memaksimalkan pertumbuhan tanaman padi, dia tidak harus berbagi zat hara seperti penanaman padi cara konvensional yang menanam banyak bibit dalam 1 lubang.
- Ramah lingkungan. Metode SRI menganjurkan penggunaan pupuk organik (kompos, kandang dan MOL), dan pestisida organik.
Bukan Waduk Melainkan Penambangan Andesit?
"Kami tidak menolak pembangunan waduk, yang kami tolak adalah penambangan batu andesit, " kata Ibu Ngatinah, penduduk Dusun Randuparang Desa Wadas. (sumber) Ibu Ngatinah memang bukan petani padi, sehingga ada tidaknya waduk tak mempengaruhi aktivitasnya. Justru jika penambangan andesit dilaksanakan, keberlanjutan hidupnya akan terancam.
Seperti diketahui ada 2 proyek pembangunan di Desa Waras, yaitu penambangan batu andesit untuk pembangunan waduk dan pembangunan waduk itu sendiri. Keduanya mengancam lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Dan pemerintah sebagai negara yang ikut menandatangani akta SDGs, seharusnya paham bahwa tidak boleh melanggar 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. Diantaranya adalah mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan.
Ibu Ngatinah dan kawan kawan sudah mencapai kehidupan sejahtera. Bahkan seperti yang dikatakannya, sebagai petani hidupnya sangat cukup. Aktivitas penambangan jelas akan merenggut kesuburan tanah. Salah satu contohnya terjadi di Karst Citatah Padalarang Jawa Barat.
Nantikan ulasan saya di postingan berikutnya ya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H