Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Besek Bambu, Simbol Kemerdekaan yang Digugat

21 Agustus 2019   19:02 Diperbarui: 22 Agustus 2019   08:38 6272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Sebagai warganegara, sudah memberi apa untuk bangsa ini?"

Banyak ya jawabannya? Tapi jika pertanyaan dikerucutkan, " Sudah memberi apa untuk bumi Indonesia?" mungkin butuh waktu untuk memikirkan jawabannya.

Padahal banyak banget, salah satunya dengan tidak lagi menggunakan kantong plastik. Seperti yang dianjurkan beberapa kepala daerah ketika menyambut Idul Adha 1440. Mereka menerbitkan surat edaran agar masyarakat mengganti kantong plastik untuk wadah daging kurban dengan besek bambu. Kepala daerah yang dimaksud adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan; Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil; Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Walikota Semarang, Hendar Prihadi.

Mau mengganti kantong plastik dengan besek, menyiratkan kemauan berkorban bagi bumi Indonesia, karena harga besek lebih mahal dibanding kantong plastik. Sekaligus menyatakan kemerdekaan atas kenikmatan sesaat menggunakan kantong plastik yang praktis, namun pemakaiannya tak lama.

Rata-rata pemakaian kantong plastik hanya 12 menit, sesudah itu berubah jadi sampah, merusak bumi, planet yang semakin berat menanggung beban sampah.

Anehnya, kepedulian para kepala daerah tersebut menuai kritikan seorang kompasianer, disini. Saya kutip salah satu paragrafnya:

"Fenomena yang paling mengerikan atas pembohongan publik dengan alasan mengejar head line atau pencitraan atas nama ramah lingkungan adalah maraknya penggunaan besek daun pisang, pelepah pisang, daun jati dll pada momentum Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban bulan Agustus 2019. Berkedok atas nama ramah lingkungan"

Sungguh mengecewakan, tulisan yang diganjar headline tersebut berasal dari seorang kompasianer yang mencantumkan status sebagai Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan pada profilnya.

Karena jika benar demikian, maka yang bersangkutan pasti tahu betapa mahalnya biaya menyosialisasikan gerakan/kampanye.

Apa yang salah dengan pencitraan? Membangun panggung bagi para pejabat seringkali menjadi skenario para pegiat lingkungan, sosial dan budaya. Murah, meriah dan bersifat simbiose mutualisme.

Sebutlah Greeneration Indonesia yang menggandeng Ridwan Kamil demi suksesnya "Diet Kantong Plastik", serta Indonesian Hoax Busters dengan Atalia Praratya, istri tercinta Ridwan Kamil. 

Berkat para tokoh media darling, sebuah gerakan/kampanye menjadi viral. Tulisan terkait akan dibaca jutaan orang. Bandingkan jika "hanya" seorang kompasianer yang menulis. Paling banter dibaca 100 -- 500 orang. Bahkan bisa lebih apes, cuma belasan orang.

Sehingga tak berlebihan jika kami mengucapkan terima kasih pada para tokoh terkait karena surat edarannya sangat efektif. Mengajak shohibul kurban untuk berkorban yang sesungguhnya. Serta mengajak segenap masyarakat untuk memerdekakan diri dari nafsu sesaat, menggunakan kantong plastik, yang harus ditebus dengan mewariskan sampah plastik pada generasi mendatang.

Simbol Kemerdekaan

sumber: tempo.co
sumber: tempo.co

Masih memakai kantong plastik tapi punya hobi protes "asing" dan "aseng"? Berarti Anda salah kaprah. Seluruh biji plastik, bahan baku kantong plastik merupakan barang impor. Ada sih biji plastik dalam negeri, namun merupakan hasil daur ulang sampah plastik.

Beda banget dengan besek, 100 % produk Indonesia. Hasil bumi Indonesia. Tak ada tangan importir asing. Yang menanam bambu adalah petani Indonesia. Penjual bambu wong cilik dari Indonesia. Pelaku kerajinannya juga.

Namun yang terpenting adalah bambu ditanam di Indonesia. Mengandung nilai keberlanjutan. Sedangkan biji plastik merupakan residu proses minyak bumi, bahan tambang yang tidak berkelanjutan dan tidak ada mikroorganisme yang mau memamahnya.

Tak heran mayoritas pakar lingkungan sedunia sepakat untuk menolak kantong plastik, dan menetapkan tanggal 3 Juli sebagai "International Plastic Bag Free Day". Agar penduduk dunia menghindari/mengurangi tindakan boros dan konsumtif terhadap sumber daya alam.

Membebaskan diri dari kebiasaan konsumtif menggunakan kantong plastik berarti merdeka dari penjajahan ekonomi, hal yang sering terlupa. Berpikir terlalu muluk untuk perjuangan mengisi kemerdekaan. Sementara cara termudah ada di depan mata.

Simbol Berkorban

sumber: pikiranrakyat.com
sumber: pikiranrakyat.com

Merogoh kocek lebih dalam, besek juga menyimbolkan kerelaan berkorban. Harga kantong plastik hanya berkisar Rp 200/lembar, sedangkan besek di kisaran Rp 2.000/buah.

Kompasianer Farhati Mardhiyah menulis disini, jika shohibul kurban mau urunan lebih banyak, hanya perlu menambah uang pembungkus daging kurban, kurang dari Rp 100.000 saja.

Di zaman serba mahal ini, apalah arti Rp 100.000? Mungkin cuma 4 mangkok bakso atau 4 bungkus camilan. Dengan mudahnya lembaran merah tersebut keluar dari dompet, tapi untuk berkorban? Untuk bersedekah?

Terlebih jika mau menggunakan besek di setiap acara yang membutuhkan wadah makanan/ wadah bahan baku makanan. Misalnya pembagian bancakan/nasi kotak di acara syukuran, arisan dan event lainnya.

Dengan selisih Rp 1.800 antara harga besek dan kantong plastik, maka jika membuat 100 nasi dus, berarti harus berkorban Rp 180.000 untuk bumi tempat kita berpijak. Planet yang menjadi rumah kita. Rumah yang anehnya enggan kita urus.

Bandingkan berapa juta rupiah (bahkan mungkin puluhan juta rupiah), setiap tahun dikeluarkan untuk bangunan rumah tinggal? Namun betapa pelitnya membuka dompet untuk planet bumi.

Memakmurkan UMKM

banyuwangi.merdeka.com
banyuwangi.merdeka.com
Mengganti kantong plastik dengan besek, berarti juga merupakan usaha memakmurkan UMKM. Karena tak ada konglomerat yang memiliki usaha pembuatan besek dan bambu, bahan baku besek. Nggak ada duitnya.

Beda halnya dengan industri kantong plastik, gelimang dolar memenuhi pundi-pundi pengekspor biji plastik dan produsen kantong plastik. Bagai bumi dan langit dengan pelaku kerajinan besek.

Mereka harus berjibaku mengumpulkan rupiah untuk menjual besek yang tidak marketable. Uang hasil penjualan yang tak seberapa harus disisihkan membeli bambu yang harganya kian mahal, akibat makin langkanya keberadaan tanaman bambu.

Maka, jika pemerintah serius menggunakan besek di setiap event yang diadakan, maka UMKM kerajinan bambu ini akan bergairah kembali. Pekerjanyapun bukan lagi lansia yang membuat besek di waktu luang, namun juga kaum muda.

Mereka akan tertarik pada budi daya bambu, bahan baku besek. Mereka mencari spesies bambu yang cepat tumbuh, seratnya lebih lentur dan mudah dianyam. Mengawin silang spesies bambu, serta melakukan inovasi-inovasi dari hulu hingga hilir.

Jangan heran jika kelak muncul agro wisata hutan bambu dengan segala pernak perniknya. Juga muncul penemuan produk bambu dengan kreasi baru yang tak terbayangkan.

Tidak hanya besek dengan desain yang catchy dan lebih fungsional. Juga mesin-mesin baru yang timbul terkait proses yang lebih cepat, hasil jadi yang lebih ringan dan sebagainya.

Melestarikan Bumi

sumber: kanigas.com
sumber: kanigas.com

Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) memperkirakan dalam satu tahun jumlah kantong kresek dari 32 ribu gerai ritel modern bisa disamakan dengan 68 kali berat Air Bus A380 atau 353 kali volume Candi Borobudur.

Menduduki peringkat empat dari sepuluh jenis sampah di laut. Sampah kantong plastik kresek mencapai angka 1.019.902 buah, di bawah botol kemasan plastik yang mencapai 1.065.171 buah.

Kan bisa didaur ulang?

Sayangnya, menurut Direktur Eksekutif Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP), Tisa Mafira, tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia hanya 9 -- 10 persen.

Penyebabnya, sistem pengumpulan sampah plastik yang belum terorganisir. Hanya mengandalkan sekumpulan individu yang berinisiatif membuat UMKM dengan mengumpulkan sampah plastik, memperdagangkannya, kemudian memproduksi menjadi biji plastik. Tidak ada keberpihakan dari pemerintah.

Namun ketidakberpihakan pemerintah bisa dimanfaatkan menjadi ladang amal masyarakat dalam melestarikan bumi. Semakin banyak orang yang mengganti kantong plastik dengan besek, semakin senanglah bumi. Karena bumi memiliki waktu recovery setelah menyelesaikan serbuan sampah anorganik yang tak terelakkan.

Penggunaan besek sebagai pengganti kantong plastik akan membuat masyarakat antusias menanam bambu di sekitar rumahnya serta di lahan kosong. Daerah aliran sungai akan dipenuhi rumpun bambu kembali. Sehingga terhindar dari longsor yang mengancam setiap musim hujan tiba.

Penghijauan dengan menanam bambu berarti juga menyediakan pasokan oksigen. Membuat masyarakat yang tinggal di kawasan penghijauan lebih sehat dan lebih kreatif.

sumber: taketora.co.jp
sumber: taketora.co.jp
Hijau royo-royo, problem sampah terselesaikan, menjadi impian semua insan di bumi. Solusinya untuk sementara ini besek. Beberapa tahun kemudian, tak ada yang bisa meramalkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun