Merogoh kocek lebih dalam, besek juga menyimbolkan kerelaan berkorban. Harga kantong plastik hanya berkisar Rp 200/lembar, sedangkan besek di kisaran Rp 2.000/buah.
Kompasianer Farhati Mardhiyah menulis disini, jika shohibul kurban mau urunan lebih banyak, hanya perlu menambah uang pembungkus daging kurban, kurang dari Rp 100.000 saja.
Di zaman serba mahal ini, apalah arti Rp 100.000? Mungkin cuma 4 mangkok bakso atau 4 bungkus camilan. Dengan mudahnya lembaran merah tersebut keluar dari dompet, tapi untuk berkorban? Untuk bersedekah?
Terlebih jika mau menggunakan besek di setiap acara yang membutuhkan wadah makanan/ wadah bahan baku makanan. Misalnya pembagian bancakan/nasi kotak di acara syukuran, arisan dan event lainnya.
Dengan selisih Rp 1.800 antara harga besek dan kantong plastik, maka jika membuat 100 nasi dus, berarti harus berkorban Rp 180.000 untuk bumi tempat kita berpijak. Planet yang menjadi rumah kita. Rumah yang anehnya enggan kita urus.
Bandingkan berapa juta rupiah (bahkan mungkin puluhan juta rupiah), setiap tahun dikeluarkan untuk bangunan rumah tinggal? Namun betapa pelitnya membuka dompet untuk planet bumi.
Memakmurkan UMKM
Beda halnya dengan industri kantong plastik, gelimang dolar memenuhi pundi-pundi pengekspor biji plastik dan produsen kantong plastik. Bagai bumi dan langit dengan pelaku kerajinan besek.
Mereka harus berjibaku mengumpulkan rupiah untuk menjual besek yang tidak marketable. Uang hasil penjualan yang tak seberapa harus disisihkan membeli bambu yang harganya kian mahal, akibat makin langkanya keberadaan tanaman bambu.
Maka, jika pemerintah serius menggunakan besek di setiap event yang diadakan, maka UMKM kerajinan bambu ini akan bergairah kembali. Pekerjanyapun bukan lagi lansia yang membuat besek di waktu luang, namun juga kaum muda.