Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

World Water Day, Peringatan Ketidakberdayaan Akan Air

22 Maret 2019   18:48 Diperbarui: 23 Maret 2019   09:38 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: cnnindonesia.com

Berapa lama manusia bisa bertahan tanpa minum?

Menurut sumber, ternyata manusia hanya mampu bertahan 4-7 hari, tergantung situasi. Beberapa faktor mempengaruhi, misalnya temperatur. Manusia yang terjebak dalam suhu dingin bisa bertahan lebih lama karena jumlah air yang dikeluarkan lebih sedikit.

Sayangnya, kebutuhan akan air yang begitu vital, berbanding terbalik dengan suplai air. Khususnya dari PDAM, pihak yang mendapat mandat menyediakan air bersih pada warga masyarakat.

Saya misalnya, sering harus begadang karena air dari PDAM baru mengalir pukul 22.00 hingga pukul 2.00 dini hari. Padahal saya sudah ngomel panjang pendek melalui salah satu group facebook yang menfasilitasi keluhan warga Bandung. Feedback hanya sekedar menanyakan nomor langganan, kemudian senyap. #Duh.

Situasi ini membuat saya bertanya: "Bagaimana 10 tahun mendatang? Juga bagaimana kabar air dari kota-kota lain?

Saya mengetik "warga mengeluh air" dan muncullah:

Di Surabaya, warga mengeluh air berwarna kuning dan berbau aneh (sumber)

Di Donggala, Sulawesi Tengah, warga mengeluh air tidak mengalir/macet (sumber)

Di Kuala Leuge Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, warga mengeluh air bersih tidak mengalir (sumber)

dan seterusnya .......

Ketiga berita di atas hanya menyangkut air bersih yang disuplai PDAM setempat. Bagaimana dengan sumur? Bakal lebih heboh. Karena tidak hanya rentan kering, air sumur juga mudah terkontaminasi sehingga berbau tak sedap dan berwarna keruh. 

Penyebabnya bisa kecerobohan si pemilik sumur maupun pemilik bangunan di sekelilingnya. Malang memang. Selain itu posisinya di mata hukum sangat lemah, tidak bisa bersuara selantang pelanggan PDAM.

Namun ada kesamaan nasib, yaitu kelangkaan air. Air sebagai sumber kehidupan yang dipahami pemerintah akan langka seiring bertambahnya jumlah penduduk, perubahan iklim dan faktor-faktor lain. Serta berefek jangka panjang, pada kesehatan dan tumbuh kembang manusia.

Di tingkat global, diperkirakan terjadi 1,6 juta kematian per tahun akibat penyakit yang terkait dengan kurangnya akses ke air minum yang aman, sanitasi tidak memadai dan kebersihan yang buruk.

Sementara di Indonesia, angka stunting pada balita sebesar 7,8 juta dari 23 juta balita atau sekitar 35,6 persen, menunjukkan betapa mengerikan dampak sanitasi buruk dan kurangnya akses air bersih. Kedua faktor tersebut menjadi penyebab stunting selain gizi buruk. 

Karena itu, tak berlebihan pada "World Water Day 2019, tanggal 22 Maret, mengambil tema "Leaving no one behind" yang berkaitan dengan salah satu agenda Sustainable Development Goals 2030, yaitu "Air Bersih dan Sanitasi Layak"

UN- Water dalam press releasenya menekankan:

Siapa pun Anda, di mana pun Anda berada, air adalah hak asasi Anda. Akses ke air menopang kesehatan masyarakat dan karenanya penting untuk pembangunan berkelanjutan dan dunia yang stabil dan sejahtera. Kita tidak bisa bergerak maju sebagai masyarakat global sementara banyak orang hidup tanpa air bersih

Tema "Leaving no one behind" diambil karena berbagai alasan, diantaranya disebabkan adanya diskriminasi terhadap golongan masyarakat termarginalkan berikut ini:

  • Seks dan gender
  • Ras, etnis, agama, kelahiran, kasta, bahasa, dan kebangsaan
  • Kecacatan, usia dan status kesehatan
  • Properti, status kepemilikan, tempat tinggal, status ekonomi dan sosial
  • Faktor-faktor lain, seperti degradasi lingkungan, perubahan iklim, pertumbuhan populasi, konflik, perpindahan paksa dan migrasi juga menjadi penyebab munculnya kelompok-kelompok yang kesulitan mengakses air bersih.

Mengetahui betapa seriusnya dampak kelangkaan air bersih, adakah yang bisa kita lakukan? Ada, bahkan banyak. Diantaranya sebagai berikut:

Hemat Air

sumber: cnnindonesia.com
sumber: cnnindonesia.com
Ini memang nasihat tertua, namun sangat manjur. Menghemat air merupakan wujud kepedulian terhadap mereka yang mengalami stres air sehingga mengalami akibat jangka panjang.

Menabung Air

seharusnya LRB dibuat pada aliran air (sumber:biopori.com)
seharusnya LRB dibuat pada aliran air (sumber:biopori.com)
Ditemukan oleh seorang dosen IPB, Ir. Kamir R Brata, Lubang Resapan Biopori (LRB) mampu menyehatkan tanah yang sakit sekaligus menabung air. Seperti katanya:

"LRB memperkecil ruang alasan bagi masyarakat untuk tidak mengambil peran bagi upaya pelestarian lingkungan, dengan cara meresapkan air bersih (air hujan) sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. LRB dapat diaplikasikan pada lahan sempit dengan fleksibel sekalipun di lokasi yang secara ekstrem dibuat perkerasan 100 persen".

Dua tulisan Kamir R Brata sebagai kompasianer dapat dibaca disini. 

Recycling Air dengan Ecotech Garden

sumber: anggitararas.blogspot.com
sumber: anggitararas.blogspot.com
Ditemukan oleh Ratna Hidayat, praktisi lingkungan dari Pusair, Ecotech Garden (EGA) mengolah grey water menjadi air yang bisa digunakan lagi. Grey water dialirkan ke kolam yang berisi tanaman hias yang berfungsi sebagai media penyerap unsur pencemar, seperti lili air, pisang brazilia, dan lainnya.

Bagaimana cara kerjanya?

  • Pengaliran grey water ke EGA, dilakukan dengan cara memasang bendung di selokan, sehingga air dapat dibelokkan ke EGA.
  • Sistem EGA tersebut dapat dibangun di halaman rumah, atau taman-taman yang ada di kompleks perumahan atau di bagian atas suatu situ atau danau alami.
  • EGA akan menyaring unsur unsur hara (pupuk) yang terkandung didalam air, dan unsur bahan pencemar air lainnya. Unsur pupuk digunakan oleh tanaman untuk bertumbuh, sedangkan unsur pencemar, disaring oleh akar dan media penahan tanaman.
  • Air yang keluar dari EGA (sudah disaring secara biologis), dapat dialirkan kembali ke selokan dibagian hilir bendung, atau dialirkan ke waduk, dan sumber sumber air lainnya.
  • Karena bahan cemaran dalam air sudah berkurang, maka kualitas air yang dikembalikan ke selokan atau ke badan badan air lainnya, sudah lebih baik dari kualitas air sebelum melalui EGA.

 Selanjutnya mengenai Ecotech Garden bisa dilihat di litbang.pu.go.id

Dua penemuan di atas hanya sebagian kecil hasil karya anak bangsa dalam usaha memaksimalkan sumber daya air. Bagaimana implementasinya? Sangat tergantung kemauan dan aksi kita sebagai warga yang mengalami kelangkaan air. Apakah akan diam saja, atau turut serta melestarikan sumber air bersih. Remote controlnya kita yang pegang.

Bisa on, bisa juga off.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun