Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Peduli Sampah, Karena Bumi Bukan Hanya Milik Kita

20 Februari 2019   12:50 Diperbarui: 7 Juli 2020   21:58 1729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kurangnya kesadaran masyarakat membuang sampah sembarangan mengakibatkan sampah plastik dari rumah tangga nyaris menyerupai daratan tersebut menumpuk | Kompas/Garry Andrew Lotulung

Pada 21 Februari 2005. Hujan deras turun. Seperti malam-malam sebelumnya. Membuat penduduk kampung Cireundeu semakin mempererat selimutnya. Dingin menyengat. Tiba-tiba muncul suara bergemuruh. 

Tanda longsor. Bukan longsoran tanah, melainkan sampah yang telah membukit. Sampah penduduk Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Cimahi yang dibuang dan ditumpuk begitu saja. Sehingga ratusan penduduk meregang nyawa, tanpa sempat berteriak.

Empat belas tahun berlalu, peristiwa tragis tersebut selalu diperingati masyarakat Cireundeu dengan menabur bunga. Pemerintah Indonesia tak tinggal diam, memperingatinya sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Serta menerbitkan Undang Undang Pengelolaan Sampah nomor 18 tahun 2008.

Kemudian apa?

Rupanya pemerintah gagal melaksanakan amanah. Di TPS lain, pindahan TPS Leuwigajah, sampah tetap membukit. Tak berlebihan jika pada tahun 2015, Dr. Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia direktur dari Center for Circular Materials Management merilis temuan bahwa Indonesia penyumbang sampah plastik di lautan nomor 2 di dunia. 

Walaupun KLHK menolak temuan Jambeck (sumber), pastinya data 187,2 juta ton sampah plastik di Indonesia berakhir di samudera, bukan angka asbun. Banyak parameter yang digunakan. 

Keyakinan bertambah setelah media mainstream memberitakan Kondisi Kali Pisang Batu yang Menjadi Lautan Sampah serta kondisi Sungai Citarum terkini. Sampah tersebut akan berakhir di lautan ketika musim hujan tiba.

sumber: bersihnegeri.id
sumber: bersihnegeri.id
Apa yang terjadi?

Pemerintah gagal menjalankan sistem "Kumpul, Angkut, Buang" di semua kawasan tanah air. Ditambah gempuran produk dari produsen yang abai pencemaran, maka lengkap sudah. Warga masyarakat bak pelanduk ditengah para gajah yang sibuk dengan kepentingannya masing-masing.

Sementara jarum jam berdetak maju. Sebagai bagian dari masyakat, apakah kita akan memaknai HSPN sekadar seremonial belaka? Pastinya tidak. Bumi yang diwariskan merupakan pertaruhan besar. Pendidikan dan kesehatan yang kita siapkan untuk anak cucu menjadi tak berarti jika kelak mereka harus hidup dalam cemaran mikroplastik.

Apa saja yang bisa kita kerjakan?

Mengurangi produksi sampah

sumber: www.lessplastic.co.uk
sumber: www.lessplastic.co.uk
Merupakan cara termudah karena itu diletakkan pada awal rangkaian 3R: Reduce, Reuse, Recycle. Bukankah lebih mudah mencuci rantang bekas makanan dibanding harus mengolah sampah plastik bekas makanan? 

Bukankah lebih mudah merapikan kembali reusable bag dibanding mengurus kantong plastik gratisan yang akan berakhir menjadi mikroplastik yang melayang-layang sebagai cemaran, ngga hilang hingga anak cucu kita beranak pinak?

Think before you act, menjadi kunci. Baik ketika berbelanja maupun dalam aktivitas sehari-hari. Jangan sampai berburu barang murah ternyata hanya berakhir menjadi sampah. Lebih bijak hanya menerima barang-barang yang sungguh dibutuhkan. Daripada pusing tujuh keliling sewaktu harus membuang sampah.

Memilah sampah

sumber: myensiklopedian.blogspot.com
sumber: myensiklopedian.blogspot.com
Tak kenal maka tak sayang. Tak biasa maka terasa susah. Memisah sampah sebetulnya mudah, kita hanya belum terbiasa. Sampah organik masukkan ke ember khusus, atau langsung dikompos. 

Sampah anorganik masukkan ke kardus bekas atau kantong plastik bekas, kemudian berikan pada pemulung yang akan menerima dengan suka cita.

Tidak bertemu pemulung? Pengangkut sampah "zaman now" umumnya tahu bahwa sampah anorganik bisa ditukar dengan uang. Jadi berikan saja pada mereka atau biarkan petugas sampah di TPS mengelolanya. 

Kini mereka mendapat penghasilan tambahan dengan memisah sampah anorganik dan menjualnya. Jadi, mempermudah pekerjaan mereka menjadi solusi terbaik.

Mengompos
Jauh sebelum TPA Leuwigajah longsor, telah ada video mengenai gunungan sampah yang mengeluarkan kepulan asap. 

Diduga merupakan gas metan yang berasal dari sampah organik yang terperangkap diantara tumpukan sampah. Bahkan kuat dugaan, ledakan gas metan lah yang menjadi penyebab longsornya sampah di TPA Leuwigajah.

Padahal, mengolah sampah organik itu mudah banget. Ada tanah kosong di sudut halaman? Bisa banget membuat komposter nan kece seperti di taman lansia RW 09 Kelurahan Sukaluyu Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung.

Atau membuat komposter dari barang disekeliling kita. Saya membuat komposter dari bekas kotak buah yang terbuat dari kayu. Gratis dari penjual buah yang merasa senang, kotak kayunya bermanfaat. Biasanya dibuang begitu saja.

Ke dalam komposter, saya masukan sampah dapur, hasil menyiangi tanaman dan daun-daun yang rajin berjatuhan dari pohon Salam serta pohon Jambu. Untuk mempercepat proses, saya menyiram dengan MOL (mikroorganisme lokal) yang terbuat dari air sisa cucian beras, terasi dan air gula.

Ngga punya lahan kosong? Gampang, bikin aja takakura. Caranya bisa diklik disini. Takut bau? Beri lapisan tanah pada sampah agar bau hilang. Ini cara kuno, warisan nenek moyang kita yang menutup semua penyebab bau dengan tanah. 

Jadi ngawur banget tuh jika ada yang membuang tikus mati ke jalan umum. Bukannya menyelesaikan masalah, malah menyebarkan kuman penyakit. Sungguh salah kaprah.

Ih spoilernya kepanjangan ya? Jadi gini, tema HSPN 2019 kan "Kelola Sampah Hidup Bersih, Sehat dan Bernilai". Tema yang terlalu umum ya? Mungkin karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah mati gaya. 

Alih-alih melakukan pendekatan pengelolaan sampah dengan cara mudah dan murah, malah menyodorkan insinerator (membakar sampah) sebagai solusi (lihat spanduk). Padahal seperti kita tahu, membakar sampah jelas melanggar undang-undang, selain itu biayanya mahal bukan main.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun