"Hmm, termasuk bikin takjil untuk masjid ya, Â Dis? Habluminannas?"
Adisa mengangguk.
"Iya, harus imbang. Jangan minta doang ke Tuhan, tapi pelit bin kikir ke sesama manusia", jawab Adisa sambil tersenyum. Lagi.
"Mengaji di bulan puasa sensasinya ngga sama dengan hari-hari biasa. Terasa ringan. Keinginan duniawi hilang.  Seolah seisi semesta mendukung, ikut  mendengar curhatku pada Tuhan. Nyaman rasanya".
Aku mulai memahami mengapa alunan suara mengaji Adisa di bulan Ramadan ini menimbulkan getaran-getaran halus di hati. Adisa tidak sekedar membaca huruf-huruf Al Quran. Dia sedang memohon pada Sang Pencipta. Dia sedang mengobrol dengan Rabb-nya.
Dan waktu khusyu itu cuma sebulan. Hanya di bulan Ramadan, ketika perut terasa lapar dan dahaga. Berbincang-bincang denganNya pastilah menyenangkan. Berkeluh kesah dan mengadu pada Sang Maha Pengasih pastilah indah.
Aku paham. Jika esok Adisa  meneteskan air mata sambil mengalunkan ayat-ayat suci. Pastilah karena Adisa bersedih. Berpisah dengan bulan penuh berkah ini. Bulan yang akan dirindukan. Karena tak semua insan akan berjumpa Ramadan lagi di tahun depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H