Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Masjid Lautze 2, Oase Spiritual di Pusat Kota Bandung

20 Mei 2018   20:06 Diperbarui: 20 Mei 2018   20:36 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karim Oey diapit Hamka dan bung Karno (dok. Maria G Soemitro)
Karim Oey diapit Hamka dan bung Karno (dok. Maria G Soemitro)
Dengan pertimbangan seorang mualaf membutuhkan tempat berkumpul sekaligus belajar agama, Karim Oey membangun masjid Lautze 1 pada tahun 1991. Terletak di jalan Lautze nomor 89 Jakarta,  operasional Masjid Lautze di bawah Yayasan Haji Karim Oei (YHKO). Setelah itu,  Masjid Lautze 2 berdiri tahun 1997 di jalan Tamblong No. 27 Bandung.

Uniknya awal berdiri Masjid Lautze  tidak diniatkan sebagai masjid. Hanya kantor dengan ruangan khusus untuk sholat. Karena banyak warga yang datang untuk salat maka dibangun masjid dengan sentuhan khas etnis Tionghoa yaitu warna merah dan kuning. Sedangkan penamaan Lautze lebih dengan alasan terletak di jalan Lautze.

Kembali ke bangunan masjid Lautze 2 Bandung yang meriah dengan interior  dan eksterior berwarna  merah dan kuning menyolok. Berpadu dengan ornamen interior seperti lampu, tangga dan partisi yang diberi ukiran-ukiran Tionghoa.  Nampak mimbar  berwarna sama di bagian kanan masjid yang lebih mirip. 

Di bagian kiri dinding terlihat foto berbingkai menunjukkan kemesraan tokoh Buya Hamka, Bung Karno dan Karim Oey. Foto menunjukkan lokasi pertemuan yaitu di Bengkulu pada tahun 1938. Di ujung kiri nampak mading serta tempat wudhu yang terpisah antara kaum pria dan kaum perempuan.

Semua dalam ornamen dan warna kuning merah yang khas oriental.  Perbedaan lainnya masjid yang umum saya temui umumnya bersih dari barang, hanya ada karpet terbentang. Sedangkan Masjid Lautze terasa "penuh". Mungkin akibat ruangan yang sempit ditambah  menjelangnya waktu berbuka puasa.   

Sekelompok ibu-ibu sedang sibuk membungkus takjil ketika saya melongok ke dalam masjid.  Takjil yang berisi kurma dan air mineral dalam kemasan  merupakan sumbangan dari berbagai kalangan. Ada 2 macam takjil, takjil untuk jamaah yang berbuka dan tarawih di masjid Lautze. Serta takjil off-road yang dibagikan di luar masjid Lautze.

menjelang buka puasa di masjid Lautze 2 (dok. maria G Soemitro)
menjelang buka puasa di masjid Lautze 2 (dok. maria G Soemitro)
Kegiatan lain yang diselenggarakan Masjid Lautze 2 adalah ngabuburit sambil belajar agama pada pukul 15.00 hingga 17.00.  Pesertanya sekitar 30 orang anak,   berusia balita hingga jenjang Sekolah Dasar dan dibimbing 4 orang guru.

Dalam usahanya memenuhi kebutuhan warga yang ingin salat Jumat di Masjid Lautze 2, setiap mendekati waktu salat,  jalan di depannya akan ditutup sehingga mampu menampung sekitar 600-an jamaah. Demikian pula ketika salat Ied, jalan akan ditutup dan diberi tenda.

Yang menarik lainnya, para pengurus Masjid Lautze yang mayoritas etnis Tionghoa, akrab dengan panggilan koko dan cici. Layaknya etnis Sunda memanggil kang/teteh/mang/bibi pada mereka yang dituakan. Toleransi bukan sekedar jargon disini,  namun sudah dipraktekkan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun