Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Gimmick "Bayar Pakai Sampah", Kreativitas Salah Kaprah

8 April 2018   20:53 Diperbarui: 11 April 2018   02:13 1907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
penimbangan di bank sampah Resik Jeliger (dok Maria G Soemitro)

"Terobosan keren nih," kata seorang teman sambil membagikan berita tentang sampah plastik sebagai ongkos bus baru di Kota Surabaya (sumber)

"Kalau mereka gak bisa bayar, cukup bayar pakai sampah plastik. Karena sampah plastik ini cukup berbahaya di masa depan," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini

Kisah membayar pakai sampah ini mirip yang dilakukan Gamal Albinsaid. Gamal bersama teman-temannya membentuk klinik asuransi sampah. Setiap bulan peserta asuransi menyetor sampah yang sudah dipilah senilai Rp 10 ribu (sumber).

Sepintas "bayar pakai sampah" mungkin tampak keren. Namun membayangkan orang sakit membawa sampah ke klinik kok kasihan amat ya?

Demam, kepala pusing, badan lemas, jalan terseok-seok sambil bawa sampah. Sampah seharga Rp 10.000 banyak sekali lho. Paling ngga sebanyak 2 karung plastik di bawah ini.

penimbangan di bank sampah Resik Jeliger (dok Maria G Soemitro)
penimbangan di bank sampah Resik Jeliger (dok Maria G Soemitro)
Alhasil "bayar pakai sampah" terasa mengada-ada. Mengapa sampahnya ngga ditukar uang dulu, baik ke pengepul atau bank sampah? Karenanya "bayar pakai sampah" menjadi tragedi salah obat, salah zaman dan malpraktek.

Mengapa? Yuk, kita bedah.

Salah obat
Analogi "bayar pakai sampah" seperti orang sakit perut/diare, tapi mendapat obat sakit kepala. Karena urusan sampah dicampur baur dengan layanan kesehatan dan tiket bus.

Layanan kesehatan misalnya, hanya satu dari sekian banyak kebutuhan warga masyarakat. Terlebih layanan kesehatan sudah difasilitasi pemerintah melalui BPJS. Belum menjadi anggota BPJS? Berobat ke Puskesmas murah kok. Cukup bayar uang pendaftaran Rp 3.000, akan mendapat layanan dokter dan segembreng obat.

Gimmick "bayar pakai sampah" membuat masyarakat luas tidak teredukasi dengan benar. Interprestasi mereka terhadap sampah semakin salah.

Ya bayangin aja, warga yang sakit harus bawa sampah.

Warga yang mau berpergian juga harus bawa sampah. Sementara seseorang yang naik bus untuk menempuh perjalanan cukup jauh, umumnya berpakaian bersih dan bagus.

Alih-alih digotong ke sana dan ke mari, bukankah sampah seharusnya dipilah dan dikumpulkan di area sampah tersebut berasal? Kemudian sampah disetor ke bank sampah atau komunitas pengelola sampah lainnya.

Cara ini akan menjamin pengelolaan sampah secara berkelanjutan. Sampah organik dapat diolah menjadi kompos/biogas/lainnya. Sampah anorganik bisa didaur ulang menjadi produk baru. Uang yang terkumpul dapat digunakan pemiliknya untuk berbagai keperluan.

Dan yang terpenting, perusahaan yang memproduksi sampah anorganik bisa dijewer agar membiayai proses recycling yang dilakukan masyarakat. Bukankah sesuai undang-undang nomor 18 tahun 2008, daur ulang merupakan kewajiban perusahaan yang membuat kemasan tersebut.

Kok malah masyarakat sih?

Salah zaman
Di era fintech masih memberlakukan barter? Ribet amat.

Bahkan kini pemerintah gencar memberlakukan nontunai. Cukup pakai kartu, bisa menikmati fasilitas jalan tol, naik TransJakarta dan lain lain.

Lha ini kok balik ke cara barter yang primitif. Padahal bisa banget lho warga masyarakat cukup memilah sampah, setor ke petugas yang akan menimbang dan mengkonversi sampah menjadi rupiah kemudian saldo penyetor pun bertambah.

Dalam bentuk kartu? Mengapa tidak?

Rawan malpraktek
Sebagai masyarakat yang terbiasa hidup praktis, serba instan dan ngga mau repot, calon penumpang bus bisa mengakali petugas. Bawa saja sampah plastik yang ditemui di sepanjang jalan menuju terminal bus. Mudah kan?

Tapi apakah masyarakat akan teredukasi mengenai pemilahan sampah? Jelas tidak.

Goal pun semakin menjauh.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan Indonesia Bebas Sampah 2020. Sekarang udah bulan April 2018 lho. Artinya hanya tersisa 20 bulan.

Dan kita masih bermain gimmick? Omaygat.

Jadi harus bagaimana?

Kenali masyarakat, dengarkan mereka
Ada contoh yang bagus dan mengena:

Kita pasti sepakat bahwa pembangunan sumur air dan MCK merupakan bantuan yang tepat bagi warga kampung yang harus berjalan jauh setiap harinya untuk menuju sumber air.

Karena itu British Council dan tim membangun sebuah sumur di sebuah kampung di Bangladesh. Anehnya tidak berapa lama usai dibangun, peralatan sumur rusak. Usai diperbaiki, esoknya rusak kembali. Diperbaiki lagi, rusak lagi. Begitu seterusnya.

Selidik punya selidik ternyata kaum perempuan di kawasan tersebut menggunakan aktivitas ke sumur sebagai me time dan bersosialisasi. Kegiatan positif yang gagal ditangkap pembuat proyek.

Demikian pula masalah sampah. Sudah seharusnya berlaku bottom up, jangan memaksakan nilai sampah sebagai pengganti ongkos transport atau biaya kesehatan. Biarkan warga, sang pemilik sampah tersebut menentukan penggunaan uang hasil penjualan sampah.

Kecuali, tentu saja, pemerintah mau mengelola sampah yang telah dipilah masyarakat. Seperti yang telah dilakukan kota-kota lain di seluruh dunia. Warga cukup memisah sampah, meletakkan di depan rumah, selesai.

Kembali ke gimmick
Jika hanya gara-gara bus berplat merah maka pengguna moda transportasi tersebut harus menyetor sampah, lupakan ide itu. Mengapa tidak digratiskan?

Atau boleh juga calon pengguna menunjukkan tanda anggota bank sampah/komunitas pengelola sampah.

Belum ada? Ya dibikin dong.

Ibu Risma memiliki wewenang penuh untuk menginstruksikan pemilahan sampah. Sesudah itu bisa dibentuk bank sampah atau diurus pemerintah. Warga yang telah berpartisipasi akan mendapat kartu privilege terhadap beberapa fasilitas. Baik milik pemerintah atau milik swasta yang bekerja sama dengan pemerintah.

Misalnya, gratis naik bus plat merah, gratis pelayanan kesehatan tertentu, gratis masuk kebun binatang atau nonton film di bioskop tertentu pada hari-hari tertentu.

Duh, asyiknyaaa..... ^_^

Mengurus sampah sebetulnya mudah. Sayangnya banyak yang ngga paham sehingga berputar-putar untuk mencapai tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun