Sayangnya penyelesaian masalah sampah tidak sesederhana itu. Tidak setiap kota mampu membuang sampahnya ke TPA dengan tuntas. Kota Bandung misalnya, setiap hari memproduksi 1.600 ton sampah, namun baru mampu mengangkut 1.200 ton sampah. Penyebabnya apalagi jika bukan anggaran sampah.
Biaya pengelolaan sampah memang mahal, jika tanpa bantuan anggaran pemerintah, maka setiap kepala keluarga (KK) harus membayar Rp 300.000/bulan meliputi biaya transportasi, biaya kompensasi daerah yang dilewati truk sampah dan biaya pengelolaan sampah. Sanggup?
Banyak petugas retribusi sampah yang mengeluh sulit sekali menarik iuran, padahal hanya sekitar Rp 25.000/KK/bulan.
((Beda halnya jika untuk membeli rokok atau pulsa, ya?))
Ditambah petugas sampah tingkat RT yang sering mengambil jalan pintas dengan membuang sampah yang diangkutnya ke dalam aliran sungai, lengkaplah sudah masalah sampah Kota Bandung..
Tak heran, Kota Bandung kerap dilanda banjir jika hujan deras.
Dan banjirpun akan membawa sampah ke sungai yang berakhir di lautan.
Karena itu Bersama, Lautku Bebas Sampah.Hukum harus ditegakkan. Indonesia memiliki Undang-undang nomor 18 tahun 2008 mengenai pengelolaan sampah, dan PP nomor 81 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksana. Salah satunya mengenai EPR atau extended producer responsibility, yaitu kewajiban produsen/perusahaan penghasil produk kemasan untuk mendaur-ulang atau menarik kembali kemasannya.
Salah satu negara yang berhasil adalah Korea Selatan. Sebelum EPR dijalankan hanya bisa mengolah 27 persen sampahnya, meningkat menjadi 81 persen setelah kewajiban EPR diterapkan. (sumber).
Bersama, Lautku Bebas Sampah, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengimbau negara-negara ASEAN untuk sama-sama terlibat mengatasi masalah sampah di lautan.
Karena dampak buruk serbuan sampah, adalah kemiskinan. Besarnya tak kurang dari USD 1,2 miliar. Â "Itu untuk kerugian yang ada di bidang perikanan, perkapalan, pariwisata dan bisnis asuransi," ujar Luhut.