Krisis Sinar Matahari
Tidak ada lahan, emperan rumah pun jadilah. Mungkin itu solusi. Tapi sayang, umumnya area ini minim sinar matahari. Beberapa warga akhirnya menggunakan untuk tanaman hias, karena bukan lokasi ideal menanam sayuran. Contohnya di gambar berikut, warga sudah mengeluarkan uang dari kantong pribadi dengan harapan bisa memanen kangkung, sayang hasilnya tidak sesuai harapan. Tanaman cabai pun hanya akan berdaun rimbun di area seperti ini, malas berbunga dan berbuah.
Tanah di Indonesia sungguh subur, sayang di kawasan perkotaan sudah bercampur brangkal. Tanaman cabai akan tumbuh kerdil, berdaun kekuningan dan minim buahnya.
Serangan Hama
Jika petani kewalahan menangani hama yang menyerang tanaman cabainya, apakah para ibu rumah tangga lebih piawai dalam menangkis serangan? Logikanya jelas tidak.
Adu Kepentingan
“Bu, sekarang saya ngga bisa lagi tanam sayur, suami pelihara merpati, habis daunnya dipatokin,” kata Ibu Ihat, salah seorang anggota KWT yang harus mengalah karena satu-satunya lokasi tempat menanam sayuran yaitu loteng rumah, terpaksa berbagi dengan ternak ayam.
Keluhan berujung gagalnya urban farming di perumahan padat penduduk sungguh beragam, mulai dari hobi suami memelihara ayam atau burung yang tidak bisa ‘berteman’ dengan sayuran hingga tangan–tangan mungil balita mereka yang rupanya senang sekali mencabut atau memetik daun serta bunga yang baru tumbuh.
Kriminalitas
Bagaimana rasanya mengetahui tanaman yang dirawat sejak berwujud benih hingga berbentuk tumbuhan muda, mulai mengeluarkan umbi yang masih sangat muda, tiba-tiba hilang dalam waktu semalam? Peristiwa pencurian ubi jalar, singkong dan pepaya yang ditanam di lahan terlantar kerap terjadi di perkotaan. Pelakunya bisa siapa saja, mulai dari orang iseng hingga mereka yang sungguh-sungguh ingin tapi sungkan meminta dan malas menanam sendiri.
Nah, jika tanaman ubi jalar bisa dipanen oknum tak bertanggung jawab, bisa dibayangkan nasib buah cabai rawit yang sedang meroket harganya. Tak heran banyak petani meronda kebun cabainya secara bergantian. Lha ibu rumah tangga? Masa harus meronda tanamannya juga?
Tulisan ini bukan bermaksud mencari-cari alasan dengan memaparkan begitu banyak persoalan mananam cabai yang akan menghadang ibu-ibu rumah tangga. Kami ngga mau disalahkan lagi jika ternyata proyek menanam cabai di pekarangan rumah ternyata tidak semulus angan-angan Kementan. Harga cabai rawit tetap mahal, seperti per hari ini tanggal 18 Januari 2019 harga cabai merah/cabai domba Rp 100.000,-/Kg di Pasar Ciroyom, pasar yang terkenal murah sehingga tukang sayur berbondong-bondong ke sini setiap harinya untuk berbelanja dan dijual kembali ke ibu-ibu perumahan.
Ah bicara tentang tukang sayur, ada pola belanja khas yang dilakukan ibu-ibu rumah tangga. Mereka biasa beli cabai rawit hanya per bungkus seharga dua ribu rupiah (rata-rata di kota besar), itu sudah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Perbedaan hanya pada jumlah. Jika biasanya ibu rumah tangga akan mendapat puluhan buah cabai per bungkus, kini hanya belasan buah, yang berarti harus membatasi penggunaan cabai. Sudah hanya itu.
Jadi konsumen tidak terpengaruh harga cabai? Ya terasa dong dampaknya, mereka adalah penjual makanan/jajanan yang menggunakan cabai rawit sebagai bahan baku. Pengusaha makanan ini termasuk penyedia jasa catering, baik untuk harian maupun pesta. Mereka membutuhkan cabai dan cabai rawit hingga berkilo-kilo banyaknya. Suara merekalah yang amat menentukan pasar, sesuai hukum ekonomi, supply and demand.
Kebutuhan mereka dipasok oleh para petani yang selama ini diabaikan. Setidaknya itulah ceritera petani cabai rawit Bungbulang, sentra cabai yang terkenal di Jawa Barat. “Kami mah di gunung, mana ada penyuluh lapangan mau membantu kami.”