Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Sakiti Dia Lagi!

7 Januari 2017   00:01 Diperbarui: 7 Januari 2017   00:54 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: paperblog.fr

“Ibu harus ke kantor polisi, disana ibu akan dibantu agar dapat santunan”.

Perempuan itu termangu, bingung. Dia datang ke kantor P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) untuk konsultasi hukum. Bukan untuk mencari santunan. Mungkin nanti mengarah kesana, tapi bukan itu yang utama. Sebelum berangkat dia sudah mencari tahu, apa itu P2TP2A.  Ah,  ternyata P2TP2A adalah pusat kegiatan terpadu yang menyediakan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang meliputi pelayanan informasi, konsultasi psikologis dan hukum serta pendampingan.

Perempuan itu menjadi korban KDRT verbal suaminya. Beralasan sedang mengajar istrinya, sang suami tidak memberi nafkah lahir, melakukan KDRT verbal dan kekerasan psikis. Tidak cukup melarangnya ikut arisan dan pengajian, sang suami menggunting kabel antenna televisi, satu-satunya hiburan perempuan itu. Puncak penderitaan adalah kekejian marital rape , tubuh perempuan itu seolah hanya tempat membuang hajat laki-laki yang hanya menjadi suami dalam sebuah buku nikah. Sebuah legalitas yang membuat laki-laki itu berhak atas tubuh perempuan yang diatas kertas adalah istrinya, tak peduli si perempuan merasa kesakitan tubuhnya, batinnya dan terbanting pula kepercayaan diri si perempuan. Merasa terhina, merasa jijik akan tubuhnya sendiri.

“Pelacur!” merupakan kata yang disukai sang suami. Paham bahwa istrinya dilahirkan dan dididik dalam kontrol sosial dan moral yang ketat. Penganut dogma suami adalah surga. Maka ribuan kata pelacur dan sejenisnya acap dihujamkan, baik lisan maupun sms. Berkali-kali diceraikan tapi sesudah itu digauli dengan alasan sedang mengajarnya. Awalnya perempuan itu bertahan karena bersama suaminya, dia bisa bertemu anak-anaknya, bisa menghidangkan masakan kesukaan anak-anaknya yang datang dua minggu sekali.

Hingga kesakitan itu tak tertahankan. Ngilu menghujam setiap sendi tubuhnya. Penuh  sudah lembaran Al Quran  dengan tetesan air mata. Perempuan itu kerap termangu di dekat rel kereta api dekat rumahnya. “Ah indahnya kematian, tak akan lagi terasa kesakitan ini jika kutubrukan badan ke lokomotif itu”, desahnya. Hingga imannya mengingatkan, Tuhan tidak memberinya usia hingga separuh abad untuk membiarkan diri tercabik di atas rel kereta apai. Tuhan menganugerahinya nalar agar berjuang melawan rasa sakit hati diperlakukan lebih rendah dari seorang pelacur. Tuhan memberinya rahmat agar bisa menyelesaikan kuliahnya sambil bekerja dari pagi hingga sore, bukan untuk disia-siakan tapi untuk diamalkan. Dan Tuhan mengaruniai anak-anak yang tampan dan cantik agar menjadi anak soleh,  anak yang menyongsong masa depan dengan kepala tegak , bukan anak yang malu karena ibunya mati konyol.

Itulah penyebab kini dia berjalan menuju  kantor polisi unit perlindungan perempuan dan anak(PPA)  di jalan Jawa Kota Bandung.Dia butuh bantuan hukum, dia harus tahu apa yang harus dikerjakannya sekarang. Selama ini yang dia tahu, seorang perempuan menikah, mengurus rumah tangga, bahagia hingga cucu-cunya lahir kemudian malaikat Jibril mengajaknya pulang ke alam baka. Hanya itu. Dia tak siap ketika situasi berkata lain. Suami yang harusnya mengayomi berubah menjadi monster yang menyeringai kejam, mengiris-iris hatinya dengan pisau berkarat. Menyuruhnya pergi dari rumah, tak peduli kemana, tapi enggan menceraikannya.

Sayang, dunia di luar rumahpun sama kejamnya.  Jarwo, pimpinan unit PPA  yang direkomendasikan  P2TP2A ternyata telah pensiun. Petugas yang ada memperlakukan dengan sikap tak ubah seperti berhadapan dengan perempuan yang kehilangan dompet. Tanpa empati. Tak mempedulikan ketika melapor, si perempuan harus merobek luka dalamnya, membongkar nanah yang hampir mengering dan membiarkan darah menetes dari sumber luka. Sakit, yang bertambah sakit melihat si polisi malah bersay-hello dengan tamu lain, mengangkat telfon dan ah sudahlah ……

Ujungnya si polisi hanya bilang bahwa kasusnya sulit diproses karena: “Masa ibu ngga kasihan sama ayahnya anak-anak?” “Gini aja, ibu punya tanda bukti tiap bulan dapat santunan dari bapak kan? Nah, kapan terakhir diberi uang bulanan, tolong diprint out, nanti kami proses dari situ”.

Apa maksudnya?

“Iya, nanti kita tegur kenapa bapak ngga ngasih uang bulanan lagi”.

Oh Tuhan, apakah kekejaman psikis yang diterimanya seremeh uang bulanan?

“Atau ibu juga bisa ke psikiater minta keterangan tertulis bahwa ibu menderita disebabkan perlakuan suami”.

Psikiater? Pasti mahal sekali. Darimana uangnya? Sehari-haripun dirinya sangat berhemat hanya dengan menyantap sebungkus mi instan per harinya. Bagaimana mungkin bisa membiayai kemewahan pelayanan psikiater? Sungguh dagelan tak lucu. Tak cukupkah berpuluh-puluh SMS dan email pertanda KDRT Verbal yang diterimanya

Ah mungkinkah korps polisipun bagian dari system patriarkat yang membelit semua insan didalamnya? Bahkan ketika bukti tertulis disodorkan, mereka tidak mau membantunya.

Perempuan itu bukannya tidak berusaha mencari bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH), mengharap konsultasi hukum gratis karena kesulitan finansial. Sebuah LBH Bandung terkenal dibawah nama almarhum lawyer kondang, telah disambanginya beberapa kali. Setiap mendatangi kantor itu, dia harus mengulang dan mengulang hingga sekitar 4 lawyer yang mendengarkan masalahnya. Lawyer pertama bilang: “Sulit membuktikan bahwa semua pelecehan dan ancaman ini berasal dari suami. Ibu juga harus membuktikan kerugian yang dialami”.

What?

Dua lawyer berikutnya hanya mencatat dan mengangguk-angguk. Yang paling menyakitkan adalah lawyer tearkhir. Awalnya dengan berapi-api dia mendukung bahkan menginventigasi habis-habisan, mencecar  hingga si perempuan merasa limbung karena pikirannya kalut, sulit baginya untuk mengingat.  Tapi akhir interogasi lawyer S hanya berkata:

“Kami tak bisa membantu ibu karena kami kekurangan orang. Selain itu ibu menulis di Kompasiana kan? Nah, kita ngga mau ditulis disana”

Ah, bertanya “what” pun tak mampu dia, tubuhnya luluh lantak. Bahkan institusi penegak keadilan tak berpihak padanya. Tuhan sungguh sedang bercanda.

Ya, Tuhan hanya sedang mengujinya. Karena dalam perjalanan pulang, dia melihat papan nama di jalan  yang kerap dilalui  tapi tak dihiraukan. Tentang LBH Mahawarman yang menuntunnya ke pengacara Hayun Shobri. Bukan lawyer pemberi bantuan cuma-cuma tapi Hayun Shobri mau membuka pintu, memberi saran dan menunjuk Dian Pramanita yang baru membuka kantor hukum baru untuk membantunya. Dia pula yang menyarankan agar perempuan itu menulis kronologis kasusnya agar tidak selalu merobek luka dengan berulang-ulang menceritakan kembali.

Kini, dia sedang mengumpulkan rupiah demi rupiah agar kasusnya bisa berjalan dan keadilan ditegakkan. Sebagai lawyer, Dian memberi bantuan hukum gratis, tapi bukankah tidak ada layanan transportasi gratis? Tidak ada biaya administrasi gratis. Selain itu, terbatas pula waktu menggunakan rumah tempat kini dia  berlindung dari hujan dan panas. Setiap saat si empunya rumah bisa datang dan mengusirnya.

Ibarat lubang di batu akibat ditetesi air setiap detik, seperti itulah luka yang dialami penderita KDRT verbal. Hampir tidak mungkin sembuh seperti sediakala, sungguh berbeda dengan korban KDRT fisik. Karena itu si perempuan menulis ini agar perempuan lain tak terperosok dalam lubang seperti yang dialaminya:

Jangan menikah disebabkan kepepet usia, desakan orang sekeliling dan cibiran orang. Jangan menikah hanya untuk menyenangkan orang lain.  Hidupmu adalah milikmu. Karena ketika mengalami masalah, kau harus menghadapinya sendirian.

Tidak sekedar bibit, bebet, bobot. Sebelum menikah kenali kehidupan calon suamimu. Perempuan itu sebetulnya tahu bahwa kehidupan keluarga  calon suaminya sangat jauh dari kebahagiaan. Dia tidak menduga bahwa situasi tersebut bisa berimbas pada pernikahannya. Kedua calon mertuanya hidup dalam pernikahan ‘awet rajet’, nampak rukun diluar tapi penuh prahara didalamnya. Sang ibu mertua bisa marah besar hanya gara-gara bunyi suara cecak didinding, mengira pembantu sebelah rumah sedang mengajak kencan suaminya. Tak peduli bapak mertua sedang tergolek sakit, asmanya kambuh dan kakinya terpincang-pincang. Dan setiap pertengkaran selalu berakhir dengan pengusiran sang bapak hanya gara-gara rumah yang mereka huni adalah warisan sang ibu. Terlahir dan hidup penuh luka batin menjadikan sang suami sering membalas dengan mengusir perempuan itu. Jadi jangan berharap banyak kau  bisa mengobati luka masa lalu calon/suamimu.

Tidak sekedar beragama, yakinilah calon suamimu menjalankan agama dengan benar. Karena suami soleh yang beragama secara kaffah akan menjadi nakhoda yang baik yang tak kan tega menyakiti istrinya.  Dia akan menjadikan istrinya ratu dalam rumah tangga, tanpa ragu. Dia akan meminta siapapun, termasuk kakak-kakak perempuannya mematuhi aturan rumah tangga yang diterapkan suami istri tersebut. Tidak ada nakhoda ke-2 dan ke-3 yang menyebabkan awak kapal bingung dan perahu limbung.

Jika memiliki rekan yang mengalami KDRT dan ingin menemaninya, jangan memberi nasehat yang tidak jelas kebenarannya. Beberapa rekan perempuan itu mengatakan bahwa istri yang tidak bekerja tidak bisa menuntut apa-apa. “Lha terus aku gimana? Aku ngga punya rumah selain yang dihuni sekarang. Aku hanya perlu gubuk pelindung dari hujan dan panas hingga Allah SWT memanggilku pulang”. Teman-teman si perempuan hanya pergi tanpa jawaban. Membuat perasaan depresi kian menekan si perempuan.  Merasa tua, tak berguna, terusir dan tanpa kawan bisa membuat si perempuan melakukan tindakan paling konyol.

Jika memiliki rekan yang mengalami KDRT dan ingin membantunya, carilah institusi yang berwenang, bisa browsing di internet. Temani jika mau tapi diamlah tak usah memberi nasehat selain menganjurkan berdoa. Karena walau pengalaman si perempuan membuktikan bahwa banyak kinerja lembaga bantuan hukum  ternyata mengecewakan, bagaimanapun mereka lebih berkompeten memberi solusi.

Jika anda memiliki anak perempuan, bantu mereka agar berkembang penuh, jangan memberi kesempatan  bagi pernikahan dini, juga jangan mendesak ketika usianya  mulai bergerak ke angka 30. Lebih baik memberi peluang dengan memberi banyak kenalan. Jangan lupa perhatikan latar belakang calonnya. Jangan mengambil risiko menikahkan anak perempuanmu dengan pria yang memiliki luka masa lalu. Karena bukan hanya masa depan anakmu yang menjadi taruhannya, tapi juga bakal cucu-cucumu.

Bandung, 6 januari 2017

Facebook dan Twitter 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun