Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Sakiti Dia Lagi!

7 Januari 2017   00:01 Diperbarui: 7 Januari 2017   00:54 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: paperblog.fr

“Atau ibu juga bisa ke psikiater minta keterangan tertulis bahwa ibu menderita disebabkan perlakuan suami”.

Psikiater? Pasti mahal sekali. Darimana uangnya? Sehari-haripun dirinya sangat berhemat hanya dengan menyantap sebungkus mi instan per harinya. Bagaimana mungkin bisa membiayai kemewahan pelayanan psikiater? Sungguh dagelan tak lucu. Tak cukupkah berpuluh-puluh SMS dan email pertanda KDRT Verbal yang diterimanya

Ah mungkinkah korps polisipun bagian dari system patriarkat yang membelit semua insan didalamnya? Bahkan ketika bukti tertulis disodorkan, mereka tidak mau membantunya.

Perempuan itu bukannya tidak berusaha mencari bantuan ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH), mengharap konsultasi hukum gratis karena kesulitan finansial. Sebuah LBH Bandung terkenal dibawah nama almarhum lawyer kondang, telah disambanginya beberapa kali. Setiap mendatangi kantor itu, dia harus mengulang dan mengulang hingga sekitar 4 lawyer yang mendengarkan masalahnya. Lawyer pertama bilang: “Sulit membuktikan bahwa semua pelecehan dan ancaman ini berasal dari suami. Ibu juga harus membuktikan kerugian yang dialami”.

What?

Dua lawyer berikutnya hanya mencatat dan mengangguk-angguk. Yang paling menyakitkan adalah lawyer tearkhir. Awalnya dengan berapi-api dia mendukung bahkan menginventigasi habis-habisan, mencecar  hingga si perempuan merasa limbung karena pikirannya kalut, sulit baginya untuk mengingat.  Tapi akhir interogasi lawyer S hanya berkata:

“Kami tak bisa membantu ibu karena kami kekurangan orang. Selain itu ibu menulis di Kompasiana kan? Nah, kita ngga mau ditulis disana”

Ah, bertanya “what” pun tak mampu dia, tubuhnya luluh lantak. Bahkan institusi penegak keadilan tak berpihak padanya. Tuhan sungguh sedang bercanda.

Ya, Tuhan hanya sedang mengujinya. Karena dalam perjalanan pulang, dia melihat papan nama di jalan  yang kerap dilalui  tapi tak dihiraukan. Tentang LBH Mahawarman yang menuntunnya ke pengacara Hayun Shobri. Bukan lawyer pemberi bantuan cuma-cuma tapi Hayun Shobri mau membuka pintu, memberi saran dan menunjuk Dian Pramanita yang baru membuka kantor hukum baru untuk membantunya. Dia pula yang menyarankan agar perempuan itu menulis kronologis kasusnya agar tidak selalu merobek luka dengan berulang-ulang menceritakan kembali.

Kini, dia sedang mengumpulkan rupiah demi rupiah agar kasusnya bisa berjalan dan keadilan ditegakkan. Sebagai lawyer, Dian memberi bantuan hukum gratis, tapi bukankah tidak ada layanan transportasi gratis? Tidak ada biaya administrasi gratis. Selain itu, terbatas pula waktu menggunakan rumah tempat kini dia  berlindung dari hujan dan panas. Setiap saat si empunya rumah bisa datang dan mengusirnya.

Ibarat lubang di batu akibat ditetesi air setiap detik, seperti itulah luka yang dialami penderita KDRT verbal. Hampir tidak mungkin sembuh seperti sediakala, sungguh berbeda dengan korban KDRT fisik. Karena itu si perempuan menulis ini agar perempuan lain tak terperosok dalam lubang seperti yang dialaminya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun