Spanduk bertuliskan “Urang Bandung mah someah” lengkap dengan beragam wajah tersenyum menghiasi kota kembang Bandung di ulang tahunnya yang ke 204, tahun 2014 silam. Ada pelajar, ibu rumah tangga,pelatih sepak bola, satpam, pekerja kebersihan. Semua tersenyum ceria. Seolah ingin mewartakan bahwa senyum akan menyapa siapapun yang datang ke kota Bandung.
Sebetulnya someah atau ramah dan murah tersenyum bukan hanya milik penduduk Bandung tapi ciri khas penduduk Indonesia. Penduduk negara bermandikan matahari yang senantiasa tersenyum dalam berbagai kondisi. Bahkan presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, populer dengan sebutan “ the smiling general”. Karenanya sejalan dengan Gerakan Nasional Revolusi Mental, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenko Maritim) mencanangkan Gerakan Budaya Bersih dan Senyum (GBBS) dimulai 19 September 2015. Tujuannya untuk membangun sikap mental masyarakat Indonesia agar peduli dengan kebersihan lingkungan, berkepribadian ramah dan murah senyum, sekaligus pembuka jalan bagi kekuatan Indonesia untuk menjadi poros maritim Dunia.
Jika senyum adalah ciri khas penduduk Indonesia, bagaimana dengan budaya bersih? Sejatinya bersih melekat pada kehidupan di Indonesia. Lihatlah pedesaan, hunian penduduk asli perkotaan dan masyarakat adat. Sejauh mata memandang terlihat asri, sejuk dan bersih. Nampak guratan sapu lidi di jalan-jalan kecil depan rumah, pertanda pemilik rumah selalu menjaga kebersihan area sekitar rumahnya. Setiap penduduk malu jika huniannya kotor.
Jadi mengapa banyak pesisir yang dihuni sampah? Mengapa sampah teronggok di sudut-sudut perkotaan? Semuanya berawal ketika pemerintah mengambil alih tugas warga dalam mengelola sampah. Sentralisasi mengubah kebiasaan warga mengelola sampahnya sendiri dan menggantinya dengan pelayanan angkut dan buang sampah. Setiap lingkungan warga mengorganisir pengumpulan sampah dan menimbunnya dalam tempat pembuangan sampah sementara (TPS). Kemudian dinas kebersihan setempat mengangkut timbunan sampah di TPS ke lokasi yang jauh dari pemukiman warga.
Dari sinilah masalah berawal. Sampah yang dihasilkan era milenial bukan hanya sampah organik tapi juga plastik dan B3. Proses meniadakan pemisahan sampah dan adagium ‘buanglah sampah pada tempatnya’ membuat warga berpikir bahwa tugas mereka hanya membuang sampah setelah itu menjadi tanggung jawab petugas pengangkut sampah. Mereka tidak mengetahui bahwa setiap hari sampah dikirim ke lokasi yang memiliki kapasitas terbatas. Hingga akhirnya bumi, tempat terakhir sampah ditimbun, mengalami beban yang sangat berat, melebihi kapasitasnya dan melanggar hukum pembangunan keberlanjutan III yang dicetuskan Herman Daly:
Tidak melepas limbah (sampah) ke alam lebih cepat dari kemampuan memurnikan diri yang dimiliki alam
Setiap hari truk-truk pengangkut sampah membuang sampah ke TPA, padahal plastik baru akan terurai di alam setelah ratusan tahun. Styrofoam memiliki waktu tak terhingga. Sampah B3 harus dikelola di tempat terpisah, tidak boleh disatukan dengan sampah lainnya.
Jumlah sampah yang dikirim ke TPA hanya 69 persen dari total sampah yang dihasilkan penduduk Indonesia, sisanya dikubur (10 %), dibakar (5 %), tidak dikelola (7 %). Sampah tidak dikelola inilah yang terlihat mengotori tanah-tanah kosong, aliran sungai termasuk pesisir pantai. Sedangkan pengomposan dan daur ulang baru mencapai 7 %. (data KLH 2015)
Melihat permasalahan sampah yang disebabkan kurangnya sosialisasi penanganan sampah, sekelompok warga yang termasuk Gen Z mendeklarasikan perubahan tingkah laku. Gen Z adalah singkatan dari generasi Z, generasi yang lahir setelah pertengahan tahun 1990, merupakan generasi yang sejak kecil sudah sepenuhnya menggunakan internet. Sebagian besar waktu mereka dihabiskan secara online ketimbang berinteraksi dengan sesama teman secara fisik.
Internet ibarat dua sisi mata pisau. Ada yang baik dan juga buruk. Ketika banyak orang tua merasa risau terhadap efek buruk internet, Greeneration Indonesia justru menggunakan internet sebagai sarana mudah dan murah untuk menunjukkan betapa trendynya jika seseorang mau mengubah tingkah laku. Mereka mengenalkan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) agar terjadi pengurangan sampah di hulu. Mereka memahami bahwa pemerintah memerlukan anggaran yang sangat besar untuk mengedukasi pengelolaan sampah sejak dini. Sehingga yang mereka lakukan adalah pendekatan massif pada sesama Gen Z lainnya agar mempengaruhi orang tua, kerabat untuk ber-diet kantong plastk. Semua perangkat media sosial seperti facebook dan twitter digunakan dengan maksimal. Instagram dipenuhi ajakan mengurangi kantong plastik dan menggantinya dengan tas pakai ulang. Dan tentu saja optimasi pengumpulan tanda tangan melalui change.org yang ditujukan kepada kementerian lingkungan hidup agar membuat regulasi pengurangan kantong plastik.
Selain GIDKP, komunitas lain yang melakukan gerakan inisiasi adalah Clean Action yang mengajak perubahan perilaku menuju nol sampah di gelaran besar yang melibatkan masyarakat umum, pengurangan plastik dengan menggunakan tumbler dan gerakan pungut sampah (GPS).
Edukasi bank sampah dilakukan oleh Bumi Inspirasi yang melihat musibah sampah bisa diubah menjadi berkah sampah. Konsepnya adalah kewirausahaan social yaitu implementasi bisnis yang menghasilkan profit berupa materi dan pengurangan sampah. Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana kalkulasi sampah secara bisnis?
Berdasarkan data kemendagri.go.id jumlah kepala keluarga (KK) per Ahad, 9 Oktober 2016 adalah 62.285.478 dari total penduduk 200.808.313 jiwa. Andaikan setiap KK diwajibkan menjadi anggota yang memisah sampah dan menyetorkannya setiap minggu ke bank sampah, maka jumlah uang yang terkumpul adalah
62.285,478 KK x Rp 1.000 = Rp 62.285.478.000 per minggu
Potensinya bisa lebih besar karena yang digunakan sebagai contoh hanya penyetoran uang hasil sampah anorganik sebesar Rp 1.000/per minggu sementara faktanya setiap kepala keluarga bisa menabung belasan ribu rupiah/minggu.
Jadi, mengapa tidak diimplementasikan? Karena seperti lembaga keuangan lainnya, dibutuhkan regulasi yang memayungi setiap bank sampah dan aktivitasnya dengan rigid. Diperlukan kerja sama dan sosialisasi terus menerus oleh banyak pihak: instansi pemerintah, media, pihak swasta, lembaga independen yang bergerak dalam lingkup sosial dan lingkungan serta lembaga pendidikan.
Karena gerakan perubahan yang nampak sepelepun mengundang banyak kontroversi. Diet kantong plastik misalnya. Setelah 6 tahun mengadakan kampanye masif dan terus menerus, perwakilan instansi terkait menyepakati bahwa konsumen pasar swalayan harus membayar kantong plastik, tidak gratis. Sayangnya setelah 3 bulan uji coba, pemerintah tak kunjung membuat regulasi yang memayungi perubahan ini sehingga Aprindo (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia) sebagai perwakilan pasar swalayan memutuskan agar kantong plastik diberikan secara cuma-cuma lagi. Tidak hanya kelompok GIDKP yang mewakili Gen Z yang kecewa tapi juga konsumen ritel modern. Seiring waktu cara pandang pelanggan ritel modern sebagai penghasil sampah berubah. Mereka memahami bahwa masalah sampah bisa diselesaikan bersama-sama.
Bagaimana GIDKP menyikapi hambatan ini? seperti umumnya anak muda, mereka pantang menyerah. Mereka membuat gerakan pengumpulan tanda tangan lagi melalui Change org. dengan judul “Lanjutkan Penerapan Kantong Plastik Tidak Gratis dan Publikasikan Data Pengurangan Kantong Plastik! Kampanye pengurangan kantong plastik tetap dilakukan dengan gigih.
Menyikapi betapa militannya Gen Z menggawangi perubahan, tak berlebihan jika generasi sebelum Gen Z harus mendukung gerakan mereka. Gerakan perubahan bagi masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Mereka yang belum terlibat harus ambil bagian. Karena seperti kata pakar lingkungan, David Sutasurya: “ Bersih itu bonus hasil pengelolaan sampah yang benar. Jika sampah dikelola dengan semestinya maka bisa dipastikan lingkungan menjadi nyaman dan bersih”.
Jadi, mau menunggu apalagi? Senyum adalah ciri khas bangsa Indonesia, budaya bersih sebetulnya budaya Indonesia yang sering dilupakan. Mari bersama wujudkan gerakan budaya bersih dan senyum bersama Gen Z, generasi pemilik masa depan Indonesia. Generasi yang selalu tersenyum menyongsong siapapun yang berkunjung . Karena mereka bertanggung jawab terhadap citra dan kenyamanan hidup penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H