Penggunaan istilah go green sebetulnya kurang tepat, seharusnya zero waste lifestyle atau perilaku nol sampah. Tetapi istilah yang terakhir ini tampaknya belum membumi, masyarakat memilih kata go green untuk apapun yang berkenaan dengan perilaku lingkungan hidup yang berkelanjutan. Contohnya dulu sewaktu gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik masih terdengar aneh di telinga dan saya menolak kantong plastik ketika berbelanja di supermarket, maka biasanya kasir akan berkomentar, “Wah, ibu go green ya?”
Waduh, go green? Terlalu luas cakupannya, tapi ya sudahlah. Dan istilah go green pun saya gunakan untuk judul postingan kali ini. Postingan yang sangat terlambat karena event Kompasianival Berbagi menjelang deadline.
Awal berbagi dimulai gara-gara Bandung Lautan Sampah 2005. Duh kok selalu kembali ke kejadian yang memalukan dan memilukan itu ya? Apa boleh buat, kenyataannya memang banyak yang terbangun dari tidur lelapnya gara-gara peristiwa tersebut. Mereka berjanji bahwa bumi Bandung harus asri kembali, tidak boleh mengulang kejadian tragis yang disebabkan ulah manusia. Apapun yang disebabkan manusia harus diperbaiki oleh manusia juga kan?
Menyadari bahwa perubahan harus dilakukan oleh diri sendiri, mulai hari ini dan mulai dari yang terkecil (khas 3 M-nya Aa Gym), maka saya termasuk dalam segelintir manusia di Kota Bandung yang berusaha memulai perubahan gaya hidup. Salah satunya adalah dengan menolak air minum dalam kemasan (AMDK). Kenapa? Karena banyak substitusinya. Ketika acara pengajian atau arisan menyajikan AMDK, saya akan ke dapur untuk minta air minum dalam gelas beling.
Bagaimana jika terjebak di acara resepsi pernikahan? Ah, mudah saja, saya memilih minuman sari buah atau buah-buahan segar untuk cuci mulut usai menyantap makanan berat.
Tentu saja, kebiasaan ini saya terapkan selama mendampingi komunitas. Lama-kelamaan mereka hafal dengan kebiasaan saya menolak AMDK, sehingga yang disajikan adalah air minum putih dalam cangkir, lengkap dengan tekonya. Wah ditambah sajian rangginang, lengkaplah serasa sedang di danau di tengah sawah. ^^
Kebiasaan yang nampak sepele itu ternyata menginspirasi orang lain.
Usai tim penilai beranjak pulang, Pak Yudi berceritera bahwa perubahan yang dilakukan demi menjadi eco office banyak terinspirasi dari saya. Ah, masa? Iya, katanya dia memperhatikan saya menolak air minum dalam kemasan (AMDK), selalu membawa tas ulang sebagai pengganti keresek (kantong plastik) serta beberapa kebiasaan yang remeh temeh lainnya. Sehingga ketika Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil menginstruksikan pembenahan di seluruh kecamatan dengan hasil akhir penilaian yang terbaik, di antaranya menjadikan lingkungan kantor yang lestari, Pak Yudipun bertekad memprioritaskan kantornya menjadi eco office.
Tidak mudah menjadi eco office, terlebih tidak ada dana khusus. Karena itu Pak Yudi menyiasati mengganti beberapa peralatan menjadi hemat energi sesuai waktunya. Dan yang paling utama menurutnya adalah mulai mengubah kebiasaan pegawai kecamatan. Tidak ada lagi AMDK, tamu mendapat suguhan minuman dalam gelas. Sedangkan pegawai dianjurkan membawa mug untuk air putih/kopi /teh yang disimpan di kantor. Diharapkan membawa tumbler jika dinas keluar kantor atau keluar kota. Sebetulnya mudah kan ya?
Saya berkenalan dengan Pak Yudi sekitar tahun 2011, sewaktu beliau masih menjabat sebagai wakil camat di Kecamatan Cibeunying Kaler tempat saya berdomisili. Mengetahui saya aktif di Bandung Green and Clean, suatu program penghijauan dan pelestarian Kota Bandung, Pak Camat meminta saya mendampingi salah satu RW-nya agar menjadi juara Bandung Green and Clean tentu.
Wah permintaan yang terlalu banyak, terlebih tanpa bantuan sumber daya. Saya hanya menyanggupi untuk mendampingi dan memberi pemahaman pengelolaan sampah, urban farming. Yah, anggap saja silaturahmi ke warga masyarakat yang tinggal di RW tetangga, karena saya menempati perumahan di RW 11 sedangkan komunitas dampingan berada di RW 10. Komunitas tersebut dinamakan komunitas Engkang-engkang karena menghuni area pinggir sungai Cidurian. Engkang-engkang adalah suatu binatang yang hanya mau menghuni sungai yang bersih. Biasa digunakan sebagai bio indikator suatu aliran sungai.
Ternyata tidak mudah mendampingi warga, sehingga saya sering bolak-balik ke kantor kecamatan untuk berdiskusi dengan pak camat atau wakilnya. Bahkan lebih sering dengan sang wakil camat, Pak Yudi. Dengannya saya berdiskusi dan bertanya tentang banyak hal. Maklum sebelumnya saya belum pernah ikut program pemerintah, entah itu PKK atau Posyandu. Sementara dari situlah harusnya saya masuk. Bekerja bersama lembaga dan program buatan pemerintah akan memudahkan apapun kegiatan kita. Toh untuk warga masyarakat yang sama.
Sesudah begitu banyak janji bertemu tapi batal, pertemuan terakhir justru membahagiakan. Sama sekali tidak menyangka bahwa apa yang kita lakukan dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan juga. Demi menuju eco office, Pak Yudi memilih cara termudah dulu yang minim biaya yaitu mengubah perilaku pegawai kecamatan agar mengurangi sampah. Saya yakin tidak mudah tetapi bukan tidak mungkin. Karena sebetulnya belum lama kita mengenal plastik sekali pakai. Baru terbilang puluhan tahun. Mengubahnya hanya memerlukan komitmen, mau atau tidak berkorban untuk generasi penerus yang membutuhkan kehidupan yang nyaman dan berkelanjutan. Hanya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H