Awal Ramadhan 2015, kabut duka menyelimuti Kampung Cireundeu. Bapak Kanda meninggal dunia. Jarum aktivitas berubah 180 derajat. Para petani membereskan peralatannya, urung memanen dan menyiangi ladang. Mereka bergegas menuruni bukit. Di sudut lain perkampungan, pemilik penggilingan menutup pabriknya. Sementara para ibu segera mematikan kompor, menghentikan rutinitas harian dan bergerak menuju rumah duka. Bagi warga kampung Cireundeu, peristiwa kematian merupakan duka bersama bukan hanya milik keluarga yang ditinggalkan.
Mereka tidak hanya menghibur keluarga yang ditinggalkan tapi juga bergotong royong menyiapkan ritual mengantar jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Sebagian dari mereka menyiapkan upacara memandikan jenazah. Sebagian lagi menggali lubang di pekuburan yang terletak tidak jauh dari perkampungan. Beberapa yang memiliki keahlian pertukangan kayu mulai membuat peti mati. Sedangkan para ibu memasak berbagai panganan bagi tamu yang datang. Seekor kambing dipotong dan dimasak bersama lauk pauk lain untuk dibagikan ke setiap pemilik rumah kampung Cireundeu.
Pembuatan peti jenazah menandakan bapak Kanda penganut keyakinan Sunda Wiwitan. Semasa hidupnya almarhum bersama penganut Sunda Wiwitan lainnya hidup rukun berdampingan dengan pemeluk agama Islam. Tanpa sekat. Mereka makan dari hasil bumi yang sama, minum air yang sama dan menghirup udara yang sama Dalam satu keluarga acap ditemukan anggota yang berbeda keyakinan, tanpa pernah terjadi friksi. Justru mereka saling menghargai, saling berbagi bak jalinan benang warna warni, berkelindan saling melengkapi hingga tercipta harmonisasi kehidupan yang membuat persaudaraan di Kampung Cireundeu demikian kokoh.
Perbedaan hanya pada saat menjalankan ibadah agama. Dan secara fisik terlihat pada keterangan batu nisan di kuburan. Pemeluk agama Islam menuliskan nama dan keterangan lain dengan menggunakan tulisan Arab sedangkan penganut Sunda Wiwitan menuliskan huruf Sunda Kuno. Selebihnya tanpa batas, tanpa pembeda, gundukan tanah kubur jenazah kaum Muslim berdampingan dengan penganut Sunda Wiwitan.
Kerukunan hidup beragama tidak hanya milik Kampung Cireundeu. Ada 6 agama yang diresmikan pemerintah Indonesia serta 245 aliran kepercayaan yang tercatat di kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003. Pemeluknya hidup guyub, saling menghargai dan menghormati. Karena sejatinya rukun beragama merupakan way of life bangsa Indonesia. Tak heran para founding fathers menyantumkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila.
Namun hukum alam berlaku untuk semua mahluk di bumi termasuk perilaku dan keyakinannya. Era media sosial datang bak pisau bermata dua. Kebahagiaan merayakan hari besar agama dengan mudah diwartakan hingga belahan bumi. Tanpa perlu mencari kartu ucapan dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk merangkai kata. Tapi kemudahan mengakses internet juga bisa menelan mereka yang intoleran, yang tidak secerdas gawai yang dimiliki. Salah satu ujiannya berbentuk judul provokatif berikut:
“Ingin Naik Kelas, Siswa SMKN7 Semarang Disuruh Masuk Islam”
Memenuhi lini masa pada bulan Juli 2016 silam, judul intoleransi tersebut siap memakan korban. Pembuatnya, pemilik situs abal-abal yang tak bertanggung jawab dan menggunakan berbagai cara untuk meraup untung. Judul bombastis dipilih agar pengguna internet terpikat, mengunjungi situs kemudian membagikan lewat akun media sosial miliknya. Semakin sensasional judul, semakin banyak pengakses dan tulisanpun menjadi viral.
Ribuan bahkan jutaan pengunjung situs akan membuat pemiliknya bersorak. Tujuannya tercapai yaitu memenuhi pundi-pundi uang yang berasal dari iklan. Tak peduli yang dilakukannya berpotensi membakar emosi pembaca dan menimbulkan aktivitas anarkis. Tindakan tak terpuji yang bisa mengoyak jalinan benang toleransi umat beragama. Jalinan yang telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.
Semakin banyak pemilik smartphone dan semakin beragam fitur yang disediakan ditambah semakin cepatnya akses internet ternyata tidak berbanding lurus dengan kecermatan mengolah dan mencerna link tulisan yang lalu lalang dengan cepat. Semua ingin menjadi pelopor, yang tercepat membagikan di akun media sosialnya. Padahal jika mau mencari dari media maya terpercaya akan ditemukan berita yang benar yaitu tentang Zulfa Nur Rahman siswa kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 7 yang menolak mengikuti pelajaran agama. Zulfa dan keluarganya penganut aliran kepercayaan.
Karena SMKN7 Semarang tidak memiliki guru yang relevan maka ketika mendaftar dia mengisi kolom agama dengan agama Islam. Sewaktu kelas X dan kelas XI, Zulfa mengikuti mata pelajaran agama Islam, barulah di kelas XII Zulfa menolak dan berujung kosongnya nilai rapor. Tentu saja sesuai peraturan, siswa yang tidak memiliki nilai tidak bisa naik kelas.
Masalah Zulfa sebetulnya bisa dicarikan solusinya. Tidak harus naik kepermukaan dan menjadi santapan pembuat keonaran yang tidak peduli toleransi hidup beragama. Diperlukan kepedulian banyak pihak yang sesungguhnya memiliki kewajiban menunaikan tugasnya.
Keluarga sebagai Benteng Kerukunan
Keluarga, elemen terkecil dalam masyarakat sekaligus terpenting. Tentunya kita semua sependapat bahwa setiap anak terlahir suci murni, bersih, tanpa noda intoleransi. Orangtualah yang bertanggungjawab memberikan pendidikan toleransi sejak dini. Bahwa dunia penuh dengan keberagaman. Tidak boleh menghakimi orang yang berbeda agama karena hak prerogatif ada pada Tuhan, Sang Pencipta.
Jika di setiap perbedaan, orang tua memberi kesempatan berdiskusi yang nyaman bagi anak-anaknya maka kecil kemungkinan mereka akan terpengaruh bujukan gerakan radikal yang mengatas namakan agama.
Sekolah sebagai Tumpuan
Penelitian Setara Institut yang dilakukan di 171 sekolah tingkat SMA di Kota Bandung dan Jakarta menghasilkan data 61,6 % siswa toleran, 35,7 % siswa intoleran pasif (puritan), 2,4 % intoleran aktif (radikal) dan 0,3 % berpotensi menjadi teroris.
Untuk mengantisipasi fakta adanya sejumlah siswa yang bersikap intoleran baik pasif maupun aktif, guru memegang peranan penting dalam memberikan contoh yang baik dalam bersikap toleran. Pendidikan anti intoleransi harus menjadi suplemen dalam pendidikan agar stigma-stigma agama yang berkembang di masyarakat bisa dihilangkan.
Tokoh sebagai Teladan
Tidak banyak tokoh (agama/seni/politik/lainnya) yang menyadari dirinya merupakan panutan kehidupan bertoleransi bagi para pendukung/pengagumnya. Salah satu yang sedikit itu adalah Ridwan Kamil, Walikota Bandung yang memiliki 2.429.604 likers di halaman facebooknya. Ketika salah seorang warga mengutarakan keberatan atas kegiatannya masuk gereja untuk mengucapkan selamat hari Natal, Ridwan Kamil menjawab:
Puput sayang, saya tidak mau kayak Erdogan. Saya mau menjadi diri saya sendiri. Kalo saya seorang warga biasa, dalil tidak boleh itu bisa dipahami. Saya ini pemimpin semua umat beragama. Ada kewajiban melindungi. Surga nerakanya pemimpin ada pada adil tidaknya keputusan untuk umatnya. Saya sudah disumpah untuk adil pada SEMUA warga Bandung. kamu tau darimana bisa mengukur kadar akidah saya? Kamu Tuhan? Kenapa juga kamu masih haha hihi pake facebook?IG punya Yahudi? NKRI juga sudah merumuskan falsafahnya dengan Pancasila bukan dengan piagam Jakarta. Haturnuhun.
Andaikan setiap tokoh yang memiliki banyak pendukung, mau menunjukkan teladan toleransi maka pendidikan keberagaman menjadi lebih mudah.
Penegakkan regulasi
Pilpres 2014 ditutup dengan aroma kebencian pada salah seorang calon. Agama digunakan sebagai komoditas penyebar kebencian oleh situs-situs media yang mendadak muncul. Mereka menggunakan nama yang mirip media terpercaya di Indonesia. Seperti Tempo.com- news.com yang meniru Tempo.co. Tujuannya tentu saja adalah pembunuhan karakter calon presiden tersebut sehingga tidak terpilih. Strategi pemasaran yang sungguh busuk karena menimbulkan kebencian antar umat beragama. Saling serang tanpa manfaatpun terjadi di media sosial. Sungguh membuang waktu dan materi. Mubazir.
Seharusnya UU ITE ditegakkan. Sayangnya terjadi saling lempar, pemilik situs menunjuk pembaca dalam hal ini pengakses internet sebagai pihak yang dirugikan, sehingga pembacalah yang sebaiknya melapor. Sebaliknya pembaca berharap pemilik situs media yang dipalsukanlah yang melapor. Saling lempar yang tidak menghasilkan apa-apa selain kemungkinan terjadinya pelanggaran yang sama karena pelakunya tidak kapok.
Awal menjabat sebagai menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin merangkul penganut agama Baha'i, keyakinan yang dianut ratusan ribu penduduk Indonesia dan telah ada sejak abad ke 19. Sayang, banyak yang tidak menyetujui langkah tersebut, padahal kenyataan di lapangan, mereka hidup berdampingan, saling menghormati dan saling menghargai dengan pemeluk agama yang direstui pemerintah.
Suatu langkah yang harus diapresiasi ketika kementerian Agama menggandeng Kompasiana untuk membuat lomba tulis karena akan muncul banyak tulisan yang berisi keberagaman toleransi beragama. Sehingga setiap warga Indonesia bisa mensyukuri indahnya perbedaan. Selembar benang sutera tak akan bermakna tanpa benang lain dalam gelondongan yang membentuk tenunan. Indah, kuat , mahal dan bermanfaat. Seperti itulah keberagaman agama dan keyakinan di Indonesia, terjalin indah, kokoh dan bermanfaat bagi penggunanya dalam membangun negara kesatuan, bukan negara yang terpecah-pecah akibat emosi sesaat dan ketidak tahuan.
Sumber data:
Harian Pikiran Rakyat, 26 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H